Alhamdulillāh. Segala puji bagi Allah Ta’ālā atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita. Shalawat dan salam kepada Rasulullah shalallāhu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa istiqomah di atas Sunnah.
Wanita ibarat mutiara dasar lautan, indah, terjaga, dan tidak sembarang orang bisa memilikinya. Rasulullah shalallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan manusia untuk memuliakan dan berbuat baik kepada wanita. Di antara sabdanya, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita,” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku,” (HR. Tirmidzi, shahih).
Allah Ta’ālā telah menetapkan aturan-aturan bagi wanita, untuk menjaga dan memuliakannya. Di antara aturan-aturan bagi wanita adalah menutup aurat dan menetap di rumah agar ia terjaga dan terhindar dari fitnah. Allah Ta’ālā berfirman, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. al-Ahzāb: 59). Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ālā berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu,” (QS. al-Ahzab: 33).
Bagaimana jika ada kebutuhan yang mengharuskan wanita keluar rumah? Wanita boleh keluar rumah jika ada kebutuhan darurat, misalnya untuk menuntut ilmu, memenuhi kebutuhan rumah tangganya seperti berbelanja, dengan syarat ia menutup auratnya, tidak ber-tabarruj (menampakkan kecantikan di depan lelaki yang bukan mahram), tidak memakai wewangian, menjaga pandangannya, dan menjauhkan diri dari ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan yang bukan mahram). Lalu bagaimana jika wanita ingin bepergian ke luar kota atau luar negeri karena ada keperluan seperti mengunjungi keluarganya atau pergi berhaji? Islam memuliakan wanita sehingga ia perlu dijaga dan dilindungi kehormatannya dengan berbagai cara termasuk ketika bepergian atau safar (menuju perjalanan ke suatu tempat).
Wanita bersafar disertai mahramnya.
Wanita yang ingin bersafar harus ditemani mahram (laki-laki dewasa yang haram dinikahi selamanya, misal ayah, saudara laki-laki, kakek, paman, dan lain-lain). Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shalallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang itu bersafar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya,” (HR. Bukhari-Muslim). Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shalallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahramnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu, namun istriku ingin berhaji.” Beliau shalallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu,” (HR. Bukhari).
Apabila wanita yang ingin bepergian belum mendapatkan suami atau mahramnya, maka safarnya ditunda sampai ada mahram yang menemaninya. Syaikh Utsaimin ketika ditanya, “Apa hukum safar bagi wanita karena ada pekerjaan yang menuntutnya untuk safar?” Beliau mengatakan bahwa hal itu adalah haram. Jika tidak ada mahram maka janganlah bersafar.
Mahram bagi wanita adalah laki-laki yang sudah baligh, bukan anak kecil, karena maksud disyari’atkannya mahram adalah penjagaan dan perlindungan kepada wanita. Ibnu Qudamah rahimahullāhu berkata, “Disyaratkan bagi mahram adalah orang yang dewasa dan berakal.” Imam Ahmad pernah ditanya, “Apakah anak kecil bisa menjadi mahram?” Beliau menjawab, “Tidak, sampai dia dewasa, karena dia belum bisa mandiri maka bagaimana dia keluar bersama wanita, karena tujuan dari adanya mahram adalah menjaga wanita, dan itu tidak terwujud kecuali dari orang yang sudah baligh dan berakal, maka camkanlah!”
Batasan Safar
Ada beberapa pendapat mengenai batasan safar. Antara lain adalah sebagai berikut:
- Jarak minimal suatu perjalanan dianggap safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.
Jarak di atas adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas. Beliau berdua shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan 4 barid atau lebih dari itu, (HR. Bukhari dan Al Baihaqi, shahih).
- Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta).
Jarak di atas adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, asy-Sya’bi, an-Nakha`i, Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar, “Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya,” (HR. Bukhari).
- Safar tidak memiliki batasan dalam jarak.
Jika dalam suatu perjalanan itu dianggap sebagai safar sesuai ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat, maka perjalanan tersebut disebut safar. Hal ini adalah pendapat madzhab Zhahiri dan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim.
Menurut sebagian besar ulama, suatu perjalanan dikatakan sebagai safar jika diukur dengan jarak yaitu antara 81 atau 83 km. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa safar itu sesuai ‘urf atau kebiasaan adat setempat, misalnya Fulan pergi dari tempat A ke B, masyarakat ada yang menganggap bahwa perginya si Fulan itu adalah safar tetapi masyarakat lain menganggap itu bukan safar (I’lām al-Musāfirīn karya Syaikh Utsaimin). Pendapat yang paling kuat –wallāhu a’lam— adalah pendapat yang menyatakan bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat.
Syaikh Ibnu Baz jika ditanya masalah batasan safar, beliau menjawab bahwa tolak ukurnya dengan jarak. Syaikh Utsaimin (murid syaikh Ibnu Baz) bertanya, “Mengapa tolak ukurnya dengan jarak padahal tidak ada dari sisi dalil yang kuat?” Syaikh Ibnu Baz memberi jawaban bahwa manusia (apalagi orang awam) butuh kepastian terkait bagaimana tolak ukur dikatakan safar. Karena banyak yang bertanya apakah dikatakan safar jika bepergian dari suatu daerah ke daerah lain. Sehingga jika tolak ukur safar dengan jarak mereka bisa memastikan apakah perjalanan mereka nanti safar atau tidak.
Hikmah Safar Ditemani Mahram
Hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah untuk menjaganya dari kejelekan dan kerusakan serta melindunginya dari orang-orang jahat dan ‘nakal’ karena wanita itu kurang akal dan pikirannya serta lemah dalam membela dirinya. Adanya mahram dalam safar akan melindungi dan menjaga seorang wanita serta mengurus segala urusannya karena safar merupakan sumber keletihan dan kesulitan, sedangkan seorang wanita karena kelemahannya membutuhkan orang yang dapat menolong dan mendampinginya. Jika seorang wanita bersama mahramnya maka tidak ada orang jahat yang berani mengganggunya sehingga kehormatan dan kemuliaannya tetap terjaga. Oleh karena itu, disyaratkan mahram tersebut sudah baligh dan berakal, tidak cukup mahram anak kecil atau orang yang kurang akalnya karena mereka tidak bisa menjaga/melindungi wanita tersebut.
Bagaimana jika wanita terpaksa safar tanpa mahram? Hukum asalnya wanita tidak dibolehkan bersafar tanpa mahram. Wajib bagi mahram menemani wanita tersebut dalam keseluruhan safar. Mahram tidak cukup hanya menemani wanita tersebut sampai bandara, lalu mahram yang lain menjemput lagi di bandara berikutnya. Namun, saat mendapati keadaan darurat, hal seperti itu dibolehkan. Ibnu Nujaim menyebutkan suatu kaidah fikih bahwa keadaan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang. Apa syarat disebut darurat? Di antara syaratnya adalah tidak ada jalan lain kecuali dengan menerjang larangan demi hilangnya bahaya. Jika wanita terpaksa safar tanpa mahram karena mahramnya masih belum paham agama atau benar-benar tidak bisa menemaninya safar, maka wanita tersebut –semoga tidak mengapa- boleh safar jika perjalanan yang ditempuh dijamin keamanannya meskipun lebih baik safar bersama dengan mahram.
Hendaknya seorang wanita yang akan bersafar berusaha agar bisa ditemani mahram. Jika belum ada mahram yang bisa menemani dan safar bisa ditunda maka menunda safar sampai ada mahram hal itu lebih baik. Jika darurat harus safar segera dan tidak ada mahram maka hendaknya berdoa meminta perlindungan kepada Allah serta diberi jalan keluar yang terbaik.
Wallāhu a’lam.
[Khusnul Rofiana]