Saudariku.. dalam hidup tidaklah lepas dari sebuah ujian. Semua orang pasti akan diuji oleh Allah. Allah Ta’ālā berfirman yang artinya, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan,” (QS. Al-Anbiyā`: 35). Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhu menafsirkan ayat ini, “Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan,” (Tafsir Ibnu Jarir). Dari ayat ini, kita tahu bahwa penyakit merupakan ujian dari Allah. Akan tetapi, tahukah engkau wahai saudariku bahwa sakit yang menimpa kita, penderitaan yang kita alami, kesempitan yang kita rasakan, dan kesulitan yang menggelisahkan, merupakan kenikmatan dan anugerah yang diberikan Allah kepada kita?

Hikmah Sakit yang Allah Berikan pada Hamba-Nya
Pertama: Penyakit-penyakit kejiwaan yang paling ringan sekalipun, seperti: kegelisahan, kesusahan, kesedihan, atau duri yang menusuk seorang muslim ataupun naiknya suhu badan, maka itu semua dapat menghapus dosa-dosa, mengangkat derajat, menambah kebaikan serta merupakan sebab kebaikan baginya.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim itu tertimpa keletihan, penyakit yang berkesinambungan, kegundahan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai duri yang tertusuk olehnya, melainkan dengannya Allah hapus dosa-dosanya,” (HR. Bukhari).
Beliau juga bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin itu. Seluruh urusan baginya merupakan kebaikan. Jika ia diberi kesenangan ia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya. Dan jika ditimpa kesusahan ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan pula baginya. Sikap tersebut tidak terdapat kecuali pada diri seorang mukmin.”

Kedua: Dengan sakit Allah Ta’ālā memberikan rasa takut pada seorang hamba sehingga ia mau kembali kepada-Nya dan istiqamah di atas agama-Nya. Allah Ta’ālā berfirman, “Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali (ke jalan yang benar),” (QS. Az-Zukhrūf: 43). Sehingga tidaklah Allah menguji seorang hamba melainkan untuk menyadarkan agar ia mau kembali kepaa Rabb-nya.

Ketiga: Merupakan wujud kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Mari kita lihat bagaimana Allah menguji para nabi dengan berbagai penyakit dan musibah. Nabi Yunus ‘alayhissalam diuji dengan dimasukkan ke dalam perut ikan paus, Nabi Ayyub ‘alayhissalam diuji dengan ulat yang menggerogoti dagingnya, serta Nabi Ibrahim ‘alayhissalam diuji dengan dilemparkan ke dalam api yang menyala. Allah Ta’ālā menguji para nabi tersebut lantaran kecintaan-Nya pada mereka, di samping untuk menguatkan keimanan mereka.

Keempat: Berlanjutnya (pahala) amal saleh yang biasanya ia upayakan pada hari-hari sehatnya dengan dituliskannya pahala untuknya secara sempurna. Kabar gembira ini telah dikabarkan oleh Nabi kita shallallāhu ‘alayhi wa sallam, “Apabila seorang hamba jatuh sakit atau sedang berpergian, maka Allah akan menuliskan baginya pahala amal yang biasa ia lakukan tatkala dalam keadaan mukim dan sehat,” (HR Bukhari).
Oleh sebab inilah sebagian mereka (para salaf) mengatakan, “Ucapan selamat dengan pahala yang tertunda itu lebih baik daripada berbela sungkawa dengan musibah yang disegerakan.” Sebab terkadang Allah memberikan nikmat dengan ujian meski itu berat, dan terkadang justru menguji sebagian kaum dengan nikmat yang berlimpah. Tidak diragukan lagi bahwa seluruh musibah, penyakit, bencana maupaun kefakiran ini kelak akan dilupakan oleh orang mukmin saat pertama kali ia memasuki surga.

Berobat ataukah Bersabar?
Apakah ketika sakit kita tidak perlu berobat, tapi cukup tawakkal dan bersabar? Ataukah tetap mengambil usaha untuk berobat lebih utama?
Tidak terlarang jika dia tidak berobat dan memilih bersabar dengan sakit yang menimpanya. Akan tetapi, yang lebih baik dan lebih utama baginya yaitu dia berobat, karena mengambil sebab merupakan perkara yang dituntunkan. Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga berobat dan bersabda “Setiap penyakit ada obatnya”. Walaupun terkadang Allah menyembuhkan orang yang sakit dan terkadang Allah tidak menyembukannya atau mematikannya, namun Allah telah menjadikan obat sebagai sebab perantara untuk kesembuhan (Jāmi’u Fatawa At-Thabīb wa Al-Marīdh karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullāh).

Faktor Sembuhnya Penyakit
Dalam “Shahih Bukhari” tercantum sebuah hadits yang dikutip dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya.” Berikut diantara sebab kesembuhan yang sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit, yaitu:
[1] Berobat diiringi dengan bertawakkal kepada Allah Ta’ālā
Yaitu mengetahui bahwa Allah adalah Dzat yang menyembuhkan lagi memberi kesehatan disertai dengan husnuzhan kepada-Nya. Akan tetapi, jika seseorang meninggalkan pengobatan lantaran kuatnya keimanan dan sikap tawakkal kepada-Nya maka hal ini tidaklah mengapa.
[2] Senantiasa memohon kepada Allah Ta’ālā dengan do’a
Yaitu dengan memperbanyak do’a dan permohonan kepada Allah. Sikap terus-menerus dalam berdoa termasuk obat penawar yang amat bermanfaat bagi umat manusia.

Nasihat Bagi Orang Sakit
1. Hendaknya orang yang sakit merasa ridha dengan ketatapan Allah Ta’ālā, bersabar atasnya serta berprasangka baik kepada Allah bahwa ketetapan Allah itu pasti baik.
2. Hendaknya seseorang memposisikan dirinya di antara rasa khauf (takut) dan raja’ (harap). Takut akan adzab Allah karena dosa-dosanya dan berharap mendapatkan rahmat-Nya.
3. Sekalipun sakit yang dideritanya bertambah parah, tetap tidak diperbolehkan untuk mengharapkan kematian.
4. Jika orang yang sakit memiliki tanggungan kewajiban kepada orang lain yang belum ditunaikan dan ia mampu untuk menunaikannya, maka hendaknya ia segera menunaikannya. Akan tetapi, jika ia tidak mampu hendaknya ia menulis wasiat kepada ahli warisnya tentang kewajiban yang belum ia tunaikan.

Menjaga Aurat ketika Sakit
Tidak memperhatikan kewajiban menutup aurat adalah hal yang paling sering dilalaikan ketika sakit. Walaupun sakit tetap saja kita diperintahkan untuk berusaha menutup aurat kita selama sakit sebisa mungkin. Lebih-lebih bagi wanita, ia wajib menjaga auratnya misalnya kaki dan rambutnya, serta berusaha semaksimal mungkin agar tidak dilihat oleh laki-laki yang bukan mahram seperti perawat atau dokter laki-laki.

Semoga bermanfaat. Allāhu a’lam.

Referensi:
[1] Ad-Dā` wa Ad-Dawā` karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullāh.
[2] Kado Orang Sakit karya Hamd bin Abdillah Ad-Dausari.
[3] Tafsir Ibnu Jarir
[4] Jāmi’u Fatawa At-Thabīb wa Al-Marīdh karya Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullāh.

Penulis: Sheren Chamila Fahmi

Artikel Buletin Zuhairoh