Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Ta’ālā atas segala nikmat yang Ia berikan. Shalawat dan salam untuk Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat, dan para umatnya yang senantiasa istiqamah di atas sunnah.
Seringkali kita menemui orang-orang shalat berjamah di masjid atau pernah juga melakukan shalat berjamaah di rumah. Kendati demikian, shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri karena memiliki keistimewaan. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seseorang dengan berjamaah (pahalanya) dilipatgandakan sebanyak 25 kali lipat bila dibandingkan shalatnya di rumahnya atau di pasar. Hal itu dia peroleh dengan berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia keluar menuju masjid dan tidak ada yang mengeluarkan dia kecuali semata untuk shalat. Ia tidaklah melangkah dengan satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan. Tatkala ia shalat, para malaikat terus-menerus mendoakannya selama ia masih berada di tempat shalatnya dengan doa, ‘Ya Allah, berilah ampunan atasnya. Ya Allah, rahmatilah dia!’ Terus-menerus salah seorang dari kalian teranggap dalam keadaan shalat selama ia menanti shalat,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengetahui hadits tersebut, para wanita seringkali lebih suka shalat berjamaah karena besarnya pahala shalat berjama’ah atau karena alasan lain, misalnya merasa lebih khusyu’ jika shalat berjamaah.
Hukum Shalat Jamaah Bagi Wanita
Shalat jamaah tidak wajib bagi wanita menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, tetapi mereka tetap disyari’atkan untuk sholat berjamaah. Shalat jamaah bagi wanita ada dua macam, yaitu
- Berjamaah bersama wanita lain
Hal ini disyariatkan karena tiga perkara sebagai berikut
- Adanya hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan shalat berjamaah,
- Tidak ada larangan bagi wanita melakukan shalat bersama wanita lain,
- Perbuatan beberapa sahabat wanita seperti Ummu Salamah dan ‘Aisyah.
Diriwayatkan dari Raithah al-Anawiyah, dia berkata, “Aisyah pernah mengimami mereka dan shalat di tengah mereka pada waktu shalat wajib.” Demikian pula, driwayatkan dari Ammar ad-Duhni dari seorang wanita di kaumnya yang sering dipanggil dengan Hujairah dari Ummu Salamah bahwasanya dia mengimami mereka dan berdiri di tengah mereka.
- Berjamaah bersama lelaki
Dari Anas, beliau berkata, “Saya shalat bersama anak yatim di belakang Rasulullah dan Ummu Salamah di belakang kami.”
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka,” (HR. Ahmad, hasan).
Wanita Shalat di Dalam Rumahnya
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka,” (HR. Ahmad, hasan). Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sendiri pun telah bersabda kepada para wanita, “Shalatnya salah seorang dari kalian di makhda’-nya (kamar khusus yang digunakan untuk menyimpan barang berharga) lebih utama daripada shalatnya di kamarnya. Shalatnya di kamar lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Shalatnya di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid kaumnya. Shalatnya di masjid kaumnya lebih utama daripada shalatnya bersamaku,” (HR. Ahmad, hasan).
Imam asy-Syaukani raḥimahullāh berkata setelah membawakan hadits tentang shalat wanita di rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka daripada shalat mereka di masjid-masjid, “Seandainya mereka mengetahui yang demikian itu.” Akan tetapi, sebagain wanita tidak mengetahuinya sehingga meminta izin untuk keluar berjamaah di masjid, dengan keyakinan pahala yang akan mereka peroleh dengan shalat di masjid lebih besar. Shalat mereka di rumah lebih utama karena aman dari fitnah. Dengan shalat di rumah, para wanita terjauhkan dari ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki sehingga akan menjauhkannya pula dari fitnah.
Wanita Shalat Berjamaah di Masjid
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang istri meminta izin kepada salah seorang dari kalian untuk pergi ke masjid maka hendaknya engkau tidak melarangnya.” Beliau juga bersabda, “Jangan kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari shalat di masjid-masjid-Nya,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, para laki-laki hendaknya tidak melarang ketika istrinya hendak shalat jamaah di masjid. Akan tetapi, perginya wanita untuk ke masjid untuk shalat berjama’ah dengan syarat ia tidak memakai wewangian dan tidak berhias sehingga tidak mengundang fitnah baginya. Hal ini sebagaimana dalam sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang dari kalian (wanita) hendak pergi ke masjid maka janganlah memakai wewangian,” (HR. Muslim).
Ketika shalat berjamaah di masjid, hendaknya wanita memilih shaf yg akhir. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah awalnya dan sejelek-jelek shaf baginya yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah akhirnya dan sejelek-jelek shaf baginya adalah yang awalnya,” (HR. Muslim).
Shaf akhir menjadi lebih baik bagi wanita jika shalat di belakang laki-laki. Namun, jika shalat berjamaah dengan wanita atau bersama imam pada tempat yang terpisah dari laki-laki, maka secara zhahir sebaik-baik shaf bagi mereka adalah awalnya. Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang berada di shaf awal,” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’I, dan Ibnu Majah, shahih).
Ketika seorang wanita shalat berjamaah di dalam rumah dengan anak, saudara atau teman wanitanya, posisi imam ketika berada di jamaah wanita adalah di tengah barisan. Sebaiknya ketika imam wanita membaca bacaan sholat dengan suara pelan.
Siapa yang menjadi imam?
Siapakah yang berhak jadi imam? Apakah yang paling bagus bacaannya atau yang paling memahami agama? Para ulama terbagi ke dalam dua pendapat dalam masalah ini.
Pertama, orang yang paling bagus bacaannya lebih berhak menjadi imam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan teman-temannya, serta ats-Tsauri dan Ahmad. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Jika mereka bertiga, maka hendaklah salah seorang di antara mereka menjadi imam dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan al-Qur`annya.” (HR. Muslim). Hadits Abu Mas’ud al-Anshari, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling hafal kitab Allah. Jika mereka bacaannya sama, maka setelahnya adalah yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika dalam sunnah mereka sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika dalam hijrah sama, maka yang lebih tua. Janganlah seseorang menjadi imam dalam kekuasaan orang lain dan janganlah duduk pada tikar suatu rumah orang lain kecuali jika diizinkan,” (HR. Ahmad). Kedua, orang yang paling memahami agama lebih berhak menjadi imam daripada yang paling bagus bacaannya. Ini adalah pendapat Syafi’i berdasarkan riwayat dari Abu Hanifah dan Ahmad.
Pendapat yang kuat adalah yang paling bagus bacaannya yang lebih berhak menjadi imam tetapi dengan syarat mengetahui perkara-perkara wajib yang berhubungan dengan shalat.
Bacaan Shalat yang Dikeraskan
Pada shalat jahriyyah (shubuh, maghrib, dan isya’) bacaan yang dikeraskan adalah takbiratul ihram, al-Fatihah, surat-surat al-Qur`an, takbir perpindahan, dan salam. Bagi wanita, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bazz raḥimahullāh mengatakan, “Disunnahkan bagi wanita muslimah untuk mengangkat (mengeraskan suara) pada shalat jahr, seperti shalat shubuh serta dua raka’at pertama pada shalat isya` dan maghrib. Hal ini disunnahkan bagi wanita sebagaimana bagi kaum laki-laki kecuali jika di dekatnya ada laki-laki ajnabi (bukan mahram), maka membaca dengan siir (pelan) itu lebih utama. Adapun membaca jahr juga tidak mengapa.”
Penutup
Tidak mengapa wanita shalat jamaah di masjid dengan syarat tidak berhias, tidak memakai wewangian atau perkara lain yang menimbulkan fitnah. Namun sebaiknya wanita berjamaah dengan saudara, anak, atau teman perempuannya di rumahnya.
[Khusnul Rofiana, S.Si.]
Referensi
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, 2015, Shahih Fikih Sunnah, Pustaka Azam.
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Pustaka al-Kautsar.