Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan petunjuk. Barangsiapa yang mengikuti petunjuk Allah itu, tidak akan merasa takut dan sedih. Akan tetapi siapa yang mendustakan-Nya, maka baginya azab yang pedih.

Saudariku muslimah, Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia orang yang beriman, maka mereka masuk ke dalam surga dan tidak dizhalimi sedikitpun” (QS. An-Nisaa’: 124).

Lelaki dan wanita, keduanya sama-sama memakmurkan alam semesta. Mereka sama-sama diperintahkan untuk beribadah kepada Allah. Tidak dibedakan antara keduanya, yang mengerjakan amal shalih akan mendapatkan pahala sesuai amalannya dan yang bermaksiat akan mendapatkan dosa sesuai dengan maksiatnya.

Namun demikian, keduanya tetap berbeda. Karena kaum wanita cenderung lebih lemah dari segi penciptaan, bentuk tubuh, dan tabiatnya. Wanita harus mengalami haidh, hamil, melahirkan, dan menyusui. Wanita adalah bagian dari lelaki, serta perhiasan baginya. Adapun kaum lelaki lebih sempurna dalam hal penciptaannya dan kekuatan alaminya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan lelaki itu tidaklah sama seperti perempuan” (QS. Ali Imran: 36).

Itulah mengapa hanya lelaki yang diperintahkan untuk berjihad atau berperang. Hanya lelaki yang diperintahkan untuk shalat barjamaah di masjid lima kali sehari. Adapun wanita lebih utama shalat di rumahnya. Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada shalatnya di pintu-pintu rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya”  “ (HR. Abu Dawud, shahih).

Ketahuilah, bahwasanya yang diberi tanggung jawab menafkahi keluarga adalah lelaki, bukan wanita. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 233)

Adapun wanita, dengan kebijaksanaan Allah, tidaklah dibebani tanggung jawab layaknya seorang lelaki. Allah telah mengkhususkan beberapa hukum syari’at bagi kaum wanita, sesuai  bentuk dasar mereka, keahlian, dan kelemahlembutan mereka. Di antaranya adalah amanah untuk tinggal di rumah, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Dan tinggallah kamu di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang terdahulu” (QS. Al-Ahzab: 33).

Maknanya, janganlah kalian sering keluar rumah dengan berhias dan memakai wewangian sebagaimana wanita-wanita jahiliyyah. Tinggallah di rumah, dan perhatikan tanggug jawab kalian atas rumah suami kalian. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.”

Tidak boleh seorang muslim merasa iri terhadap perbedaan yang telah Allah khususkan untuk seorang muslimah. Begitupun sebaliknya, seorang wanita hendaklah senantiasa ridho terhadap ketentuan Allah yang Maha Adil ini. Hendaklah masing-masing melaksanakan tugasnya sehingga kehidupan ini akan menjadi sempurna.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu dari sebagian yang lain. Lelaki mendapatkan bagian dari apa yang mereka kerjakan, dan wanita pun mendapatkan bagian dari apa yang telah mereka kerjakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya” (QS. An-Nisa’: 32).

Peran Utama Wanita Menjadi Pendidik Generasi Mendatang

Kalau kita berbicara tentang mendidik anak, maka itu bukanlah kewajiban ibu seorang. Bahkan bapak memiliki tanggungjawab tidak kalah besarnya dalam mendidik anak. Lihatlah di dalam Surat Luqman, Allah menceritakan bagaimana Luqman sebagai seorang bapak menasihati anaknya. Juga di dalam surat Al-Baqarah, tentang Nabi Ibrahim berdoa untuk anak cucunya agar mereka menjadi ummat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Hal ini menunjukkan bahwa mendidik dan mendoakan anak adalah kewajiban kedua orangtua, bapak dan ibu sang anak.

Namun seharusnya wanita memiliki peran yang lebih besar dalam mengasuh anak. Karena wanitalah yang melahirkannya, kemudian menyusuinya selama dua tahun, sebagaimana firman Allah (yang artinya), ”Dan hendaklah para ibu menyusui anaknya dua tahun penuh bagi yang ingin menyusui secara sempurna. dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).

Maka hendaklah para wanita menyadari pentingnya keberadaan mereka di rumah. Yaitu sebagai istri, dan sebagai ibu. Karena dibalik kesuksesan lelaki, terdapat wanita yang hebat. Baik itu istri yang selalu memberinya semangat dan dorongan ataupun ibu yang selalu mendidiknya sejak kecil, dan menanamkan kepribadian mulia. Seorang ibu adalah pendidik pertama untuk anak-anaknya. Seorang penyair Hafidz Ibrahim mengatakan dalam syairnya, “Seorang ibu adalah madrasah”,  yaitu madrasah pertama bagi anaknya.

Betapa pentingnya madrasah pertama itu. Karena yang pertama adalah yang paling dasar. Seseorang tidak akan mungkin mencapai puncak jika ia belum bisa mencapai dasar. Itulah pentingnya seorang ibu.

Rasulullah shallaallaah ‘alaihi wa sallam bersabda, dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, “Apabila seorang anak Adam mati, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, serta anak sholeh yang senantiasa mendoakannya” (HR. Muslim).

Karena seorang yang sudah mati itu tidak bisa beramal lagi, maka ia sudah tidak bisa mendapatkan pahala lagi kecuali melalui tiga hal. Hal pertama adalah shadaqah jariyah, seperti wakaf masjid. Ia akan terus mendapat pahala selama masjid itu digunakan untuk kebaikan.

Hal kedua, adalah ilmu yang bermanfaat. Contohnya, Si A mengajarkan kepada anaknya alan cara berwudlu. Maka setiap kali anaknya berwudlu,  si A mendapat pahala yang sama seperti yang didapatkan anaknya. Bahkan setelah si A wafat, ia terus mendapat pahala setiap kali anaknya berwudlu.

Hal tersebut sebagaiman hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi shallaallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan maka baginya dosa sebesar dosa-dosa orang-orang yang mengikutinya dengan tidak mengurangi dosa orang-orang yang mengikutinya sedikitpun.” (HR. Muslim).

Hal ketiga adalah anak sholeh yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk kedua orangtuanya. Memintakan rahmat dan ampunan untuk keduanya saat keduanya sudah tidak bisa lagi meminta ampunan dengan lisan mereka sendiri.

Seorang ibu bisa mendapatkan jalan yang kedua yaitu apabila anaknya terus melakukan amalan yang ibunya ajarkan. Apalagi jika anaknya itu mengajarkan kepada orang lain, maka akan berlipat-lipat pahala untuk sang ibu. Juga jalan yang ketiga yaitu doa dari anak-anaknya yang sholeh.

Maka hendaklah seorang ibu selalu mendampingi anaknya di rumah. Menjadi suri teladan terbaik bagi anaknya, menanamkan dalam diri anaknya kepribadian sholeh dan akidah yang lurus juga mengajarkan kepadanya adab-adab Islami seperti doa bangun tidur, doa masuk kamar mandi, tata cara berwudhu, tata cara shalat, mengajarkannya membaca dan menulis, dan lain sebagainya. Jangan membiarkannya terpengaruh keburukan dari manapun. Sehingga semuanya akan menjadi kebaikan untuk anak sekaligus orangtuanya.

Kisah Syaikh Sudais Hafidzahullah dan Ibunya

Saudariku muslimah, berikut ini kami bawakan sebuah kisah, saorang imam Masjidil Haram, Makkah Al-Mukarromah. Dikisahkan, suatu hari Sudais kecil sedang bermain-main  tanah di luar, sedang ibunya menyiapkan jamuan untuk pertemuan yang diadakan ayahnya. Ketika jamuan telah siap, belum lagi tamunya menyantap makanan itu, Sudais kecil datang dengan segenggam tanah, dan ditabur-taburkannya di atas jamuan itu.

Melihat tingkah laku anaknya, marahlah ibu Sudais dan berkata, “Idzhab…ja’alakallahu imaaman lilharomain” artinya, “Pergi sana… semoga kamu jadi imam haramain”.

Dikisahkan juga, bahwa ibunya selalu memberinya dorongan dan motivasi, “Wahai ‘Abdurrahman, hafalkanlah Al Qur’an, insya Allah engkau akan menjadi imam Masjidil Haram….”

Pada hari ini, dengan karunia Allah, kita bisa lihat sendiri bagaimanakah bacaan Syaikh Sudais hafidzahullah ketika menjadi imam Masjidil Haram. Hafalannya begitu kuat, tidak kita temukan cacat di sana-sini. Selain hafizh Al Qur’an beliau juga spesialis ilmu fiqh. Masya Allah… seorang imam Masjidil Haram, tidaklah lahir dari wanita sembarangan.

Ketulusan ibu bagaikan sebuah akar, ia begitu gigih menembus kerasnya tanah, mencari air demi sebuah pohon. Kelak, ketika pohon itu telah tumbuh besar, daunnya lebat, bunganya bermekaran, terlihat indah dan mendapatkan banyak pujian, akar tidak mengeluh. Ia tetap bersembunyi di dalam tanah.

Ibu memang tidak banyak diceritakan dalam sejarah, meskipun anak hasil didikan mereka sangat terkenal. Akan tetapi ibu mempunyai kedudukan terkhusus disisi Allah. Ibu yang sukses akan memanen jerih payahnya di akherat kelak, “Dan kehidupan akherat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la: 17).

 

***

Penulis: Hanifah Zakiyah

Artikel Buletin Zuhairoh