Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita kepada jalan ini. Kita sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kita petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Allah yang membawa kebenaran.
Segala puji bagi Allah, atas nikmat petunjuk dan hidayah yang membawa kita pada lembar-lembar kehidupan baru yang begitu indah nan hikmah. Meski kebanyakan dari kita harus berjuang dulu di lembah-lembah kejahilan serta mencicipi pahitnya kemaksiatan dan hawa nafsu yang menghanyutkan.
Oleh karena itu, dengan mengingat kelamnya maksiat yang kita lakukan dulu, seharusnya kita punya alasan kuat untuk lebih jatuh tersungkur di hadapan-Nya dengan khusyu’ dan merendah lagi serta menyadari betapa lemahnya diri kita tanpa kekuatan-Nya. Betapa gelap gulitanya jalan tanpa cahaya-Nya dan betapa usaha yang paling bermanfaat untuk menyelamatkan diri dari musibah ini adalah dengan berdoa kepada-Nya.
Dosa tetaplah dosa, meskipun kamu belum menyesalinya.
Kali ini, kita tidak akan spesifik pada dosa tertentu. Serahkan pada masing-masing diri, dosa apa yang masih saja kita perbuat dengan ringan seolah tidak ada bedanya diri kita sebelum dan sesudah hijrah. Meskipun dosa yang kita lakukan masing-masing bisa berbeda jenisnya, kita telah sepakat bahwa dosa tersebut adalah hal buruk yang tidak bermanfaat dan sebaliknya sangat bermudharat bagi kita. Sudahkah kita dapati dosa apa itu? Apa kesan yang pertama kali kita dapatkan? Adakah rasa sesal menghinggapi hati kita, saudariku? Atau kenangan dosa itu malah memanggil-manggil dengan syahdu dan menjerat hati kita yang lalai dengan iman yang kadang naik kadang turun itu? Pernahkah kita merasakan berapa kali keadaan setelah hijrah, kita terjerat lagi ke lubang dosa yang sama seperti dulu? Sekali… dua puluh kali…?
Istiqamah memang sulit. Jiwa manusia yang tidak disibukkan oleh kebaikan akan tertelan keburukan lagi. Jiwa manusia akan terus condong pada maksiat tanpa petunjuk dari-Nya. Akan tetapi, kita sudah dapat kaidahnya … bahwa sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat atas dosa-dosanya. Sekarang, marilah kita tanya pada diri kita sendiri, …
“Sudahkah aku bertaubat dan menyesalinya dengan benar?”
Saudariku, ketahuilah bahwa di antara perwujudan taubat kita dari perbuatan dosa ialah dengan tidak menceritakan perbuatan dosa kita kepada orang lain. Hal ini karena menceritakan lembaran kelam kepada orang lain merupakan tanda akan lemahnya rasa malu, penyesalan, dan rasa takut kepada Allah, bahkan bisa saja perbuatan ini menjadi tanda adanya kebanggaan dengan perbuatan nista tersebut. Mari kita simak sabda Al-Musthafa shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Beliau bersabda, “Setiap umatku akan diampuni, kecuali orang-orang yang berterus terang dalam bermaksiat. Dan di antara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah bila seseorang melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya, akan tetapi ia malah berkata, ‘Wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat demikian dan demikian.’ Padahal Tuhan-Nya telah menutupi perbuatannya dan ia malah menyingkap tabir Allah dari dirinya,” (Muttafaqun ‘Alayh).
Dalam hadist lain beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Jauhilah olehmu perbuatan-perbuatan nista yang telah Allah Ta’ālā larang dan barang siapa melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah Ta’ālā karena barangsiapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya, maka kami pun akan menegakkan hukum Allah,” (HR. Al-Baihaqi dan dihasankan oleh al-Albani rahimahullāh).
Untukmu yang telah mendapat petunjuk bahwa ini adalah dosa, … .
Berdasarkan hadits di atas dan juga yang lainnya, para ulama menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang telah terjerumus ke dalam dosa, agar merahasiakan dosanya tersebut dan tidak menceritakannya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya kita menceritakan masa lalu kita kepada siapapun termasuk kepada teman kita sendiri jika alasannya hanya untuk mengisi pembicaraan dan menghabiskan waktu untuk mengobrol, apalagi bila kita benar-benar telah bertaubat dan menyesali dosa kita.
Janganlah kita menunjukkan kecenderungan hati kepada perkara jahil kita dengan membahasnya dengan teman kita. Antusias membicarakan tentang hal itu bukan dalam hal mengingkari, alih-alih seperti bentuk penyetujuan diri atas apa yang kita lakukan itu, padahal sebelumnya kita sepakat bahwa hal tersebut adalah dosa, hal yang bukan hanya tidak bermanfaat tapi bermudharat besar pada hati, waktu, usia, dan akhirat kita.
Mari menjadi haters bagi dosa kita.
Mari kita banyak mempelajari letak-letak keburukan dan kemudharatan perbuatan jahil kita dulu. Mari kita renungkan betapa bodohnya kita menghabiskan waktu dan energi untuk mengerjakannya, padahal ilmu wajib syariat ini belum sempurna kita pelajari dan amalkan dengan baik. Oleh karena itu, untuk sementara waktu jika godaan itu semakin kuat atau kita masih baru bertobat dari dosa tersebut, mari kita lakukan hal berikut.
- Berdoa kepada Allah (karena senjata kaum muslimin adalah doa), meminta hidayah dan petunjuk untuk bertobat dengan benar. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam hadist qudsi, “Wahai hamba-Ku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah,”
- Tidak berhenti meminta ampun pada Allah atas dosa kita tersebut, karena Allah pun memerintahkan kita dalam hadist yang sama, “Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni,”
- Sering berkumpul dan berteman dengan orang-orang yang membicarakan hal-hal yng bermanfaat bagi kita seperti nasihat agama, serta berdiskusi materi kajian dengan mereka,
- Tidak sekali-kali membahas masa lalu tentang dosa yang telah diperbuat dengan siapapun jika tidak ada maslahatnya dan malu untuk membahasnya dengan siapapun,
- Menjauhi majelis-majelis yang di dalamnya disebutkan frasa atau kata yang menggambarkan perbuatan dosa yang kita telah bertaubat darinya,
- Tidak membiarkan diri kita bersendirian dengan aksesibilitas ke perbuatan maksiat yang pernah kita lakukan,
- Menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat dan tidak berpikir dua kali untuk ikut kajian dan mengajar TPA, ma’had, atau majelis ilmu lain meski di waktu sempit,
- Untuk sementara, membatasi kontak dan interaksi dengan kawan lama yang masih terjangkiti dosa masa lalu dan orang-orang yang masih melakukan dosa semacam itu,
- Banyak berdzikir kepada Allah di waktu luang dan tidak membiarkan pikiran kosong,
- Menanamkan dalam-dalam rasa benci pada dosa kita yang lalu agar kita tidak termasuk orang-orang yang meremehkan dosa kecil sehingga dosa itu akan terhitung sebagai dosa besar,
- Senantiasa menanam kebaikan di mana pun kita berada. Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik,” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5: 153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Tidakkah kita ingin menjadi hamba yang bersyukur atas nikmat hidayah setelah kemaksiatan yang kita lakukan ini? Oleh karena itu, mari kita ambil jalan terbaik dalam bersyukur ya ukhti …, yaitu dengan menyesali perbuatan dosa kita dan menjauhinya. Justru karena sekarang kita telah menjadi seorang muslimah setelah berhijrah, maka taubat kita seharusnya lebih gigih dari para pelaku maksiat. Mari kita bertaubat dan kembali ke jalan Allah dengan penuh penyesalan.
Semoga Allah menjauhkan kita dengan kesalahan dan dosa kita sejauh barat dan timur. Hidayah hanya dari Allah.Semoga nikmat hidayah ini senantiasa Allah berikan kepada kita sepanjang hidup kita. Āmīn.
[Lungit Fika F.]
Referensi
- Hadist Arba’in
- Majalah Sakinah
- www.rumaysho.com