Anak-anak itu mengingat apa saja yang engkau katakan kepadanya
Dan tidak akan melupakannya, karena hatinya seperti permata yang bening
Maka ukirlah apa saja kebaikan yang engkau inginkan
Maka dia akan datang dengan hal itu dari ingatannya secara sempurna
(Imam Asy-Syafi’i –rahimahullāhu-)
Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu. Bisa kita bayangkan betapa sulitnya mengukir di atas batu. Apalagi jika batu yang akan kita ukir adalah batu permata yang berkilauan, maka kita akan berhati-hati agar tidak salah mengukir dan membuat batu itu rusak, maka kita harus menyiapkan konsepnya, harus dengan pahat khusus, harus dengan kerja keras dan ketekunan, sehingga didapatkan ukiran yang indah dan mahal harganya, yang tidak mudah lekang karena hujan dan terik mentari. Akhirnya didapat ukiran yang akan menambah bening kilauan permata itu.
Anak adalah Nikmat dan Ujian
Anak adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah Ta’ālā kepada hamba-Nya. Berapa banyak orang yang telah lama menanti buah hati dalam rumahnya, namun Allah belum memberikannya. Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita mensyukuri nikmat yang besar ini. Dengan apa? Dengan mendidiknya dengan sungguh-sungguh, tentunya. Anak yang shalih akan menjadi penghias mata dan penghibur hati ini. Allah Ta’ālā berfirman (artinya), “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,” (QS Al-Kahfi: 46).
Akan tetapi, ingatlah wahai saudariku, firman Allah Ta’ālā (yang artinya), “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu dan di sisi Allah-lah pahala yang besar,” (QS. At-Taghabun: 15). Di samping sebuah nikmat, anak merupakan ujian bagi kedua orang tuanya. Anak bisa menjadi sebab orang tuanya berbuat dzalim karena memenuhi keinginan anak. Bisa juga karena bangga dengan anaknya seseorang menjadi sombong dan angkuh. Oleh karena itu, hendaklah kita ketahui bahwa anak kita adalah amanah yang harus dijaga dan anak hanyalah titipan yang kelak akan kembali jua kepada pemiliknya.
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih,” (HR. Muslim No. 1631)
Anak yang Shalih, Simpanan Berharga
Allah Ta’ālā berfirman (yang artinya), “Bahwasanya manusia tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39).
Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu hanya akan memperoleh hasil sesuai dengan hasil usahanya sendiri. Dalam kitab tafsirnya, Syaikh As-Sa’di mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan, manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri (Taysīru Al-Karimi Ar-Rahmān).
Ketika jiwa ini tak lagi bersama raganya, maka akan terputuslah semua amalan, tidak akan bermanfaat harta benda dan keluarganya, kecuali tiga perkara yang disebutkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam sabdanya, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shalih,” (HR. Muslim No. 1631).
Anak yang shalih adalah hasil usaha keras orang tuanya dalam memelihara dan mendidiknya. Islam memerintahkan orang tua agar memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anak mereka agar kelak anak-anak tersebut menjadi anak yang shalih sehingga menjadi sebab mengalirnya pahala kepada orang tua meski telah meninggal dunia, karena hal itu termasuk sesuatu yang diusahakannya sewaktu hidup di dunia. Jadikanlah anak-anak itu sebagai sebaik-baik simpanan untuk hari nanti. Saudariku.. sungguh teramat sayang, jika semua itu terlepas dari genggaman kita.
Penuhi Perbekalan
- Bekal Pertama: Ilmu
Sebuah ungkapan yang amat terkenal “al ilmu qabla al-qauli wa al-‘amali”, berilmu sebelum berkata dan berbuat. Pendidikan anak merupakan sebuah amanah yang sangat besar, inilah peran utama para muslimah dalam dakwah. Karenanya, tidak mungkin akan dihasilkan generasi rabbani yang cemerlang jika para pendidiknya tidak berbekal dengan ilmu yang cukup. Agar langkah ini tak gontai maka harus berjalan di atas pijakan yang kokoh, yakni ilmu.
Ilmu yang dimaksud di sini meliputi ilmu apapun, baik itu ilmu agama ataupun ilmu dunia, terlebih ilmu tentang mendidik anak itu sendiri. Betapa banyak waktu yang telah kita khususkan untuk belajar di sekolah-sekolah atau di kampus-kampus, maka hendaklah kita memberikan porsi yang cukup untuk ilmu yang kita perlukan sepanjang waktu kita bersama buah hati yang akan menjadi penyejuk hati dan penghias kedua mata ini.
Ilmu yang pertama dan paling utama untuk dipelajari adalah ilmu agama. Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur`an dan mengajarkannya,” (HR. Bukhari). Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin dalam kitabnya, beliau menjelaskan bahwa tarbiyah (pendidikan) kepada anak yang dimaksud adalah menanamkan nilai-nilai agama dan akhlaq dalam diri anak sehingga agama dan akhlaq itu menjadi sesuatu yang mendominasi dalam diri mereka (Huqūqu Da’at).
- Bekal Kedua: Keteladanan
Allah Ta’ālā berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengatakan apa yang tidak engkau lakukan,” (QS. Ash-Shāf: 2). Perkara ini sangatlah penting dalam pendidikan anak, baik itu dalam penanaman tauhid, adab, dan akhlak. Anak itu seperti cermin yang akan menampakkan apa saja yang terpantul dengan apa adanya. Ketika kita memberikan suatu pelajaran pada anak, dan dia memperhatikan serta menyimpannya dalam memori, maka pada suatu saat nanti jika kita melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang pernah kita katakan, maka sang anak pasti akan langsung memprotes apa yang kita lakukan.
Keshalihan ayah dan bunda sekalian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan buah hati kita. Ia akan merekam setiap apa yang tertangkap oleh matanya, kemudian menyimpannya di memori terdalam dan akan memperlihatkan kepada kita ketika ia mampu untuk memperagakannya.
“Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya,” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Di manakah anak itu tumbuh dan berkembang? Siapakah yang menjadi teman dekatnya? Jawabannya adalah di sisi orang tuanyalah ia tumbuh dan berkembang, dan dengan kedua orang tuanyalah ia berteman baik.
- Bekal Ketiga: Ikhlas dan Sabar
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan itu pasti ada niatnya, dan setiap orang itu hanya akan memperoleh sesuai dengan apa yang diniatannya,” (HR. Bukhari-Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang kita lakukan pastilah ada niat dan tujuannya. Sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama, “Seandainya Allah itu membebani kita dengan sebuah amalan dengan tanpa niat, maka sesungguhnya tidak ada beban yang dilakukan.”
Oleh karena itu, hendaklah kita menjadikan niat itu ikhlas karena Allah Ta’ālā dalam setiap perkataan, perbuatan, dan dalam keadaan apapun, sehingga akan diperoleh sebaik-baik balasan dan tiada sebaik-baik pemberi balasan kecuali Allah Ta’ālā. Balasan terbaik itu hanya akan kita dapat ketika kita benar-benar mengikhlaskan niat kita karena Allah Ta’ālā. Demikian juga dalam perkara mendidik anak, jika kita ingin mendapatkan semua pahala dan keutamaan mendidik anak yang telah Allah janjikan, maka konsekuensinya adalah kita harus melakukan ikhtiar mendidik anak dengan sungguh-sungguh dan mengikhlaskan niat karena Allah Ta’ālā semata. Ikhlas itu dari hati dan akan tercermin dalam lisan dan perbuatan.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” (QS. Al-Baqarah: 153). Mendidik anak bukanlah hal yang mudah dan ringan, ini adalah amanah yang harus dipangkukan kepada para ayah dan bunda. Hal ini tidak akan dapat berjalan dengan baik kecuali dengan niat yang ikhlas, kesabaran yang tinggi, dan pertolongan yang banyak dari Allah Ta’ālā. Oleh karena itu, wahai ayah dan bunda.. jadikanlah sabar itu sebagai penolongmu. Bersabarlah dengan setiap ujian yang ditimpakan kepadamu disebabkan oleh anakmu, karena sungguh hal tersebut tidak akan sia-sia di sisi Allah Ta’ālā. Insyā`allāh.
- Bekal Keempat: Do’a
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu,” (QS. Al-Mukmin: 60). Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullāhu berkata, “Doa adalah obat yang paling bermanfaat. Ia merupakan musuh bagi musibah yang akan menolak dan menghilangkannya, yang mencegah turunnya, mengangkatnya, atau meringankannya apabila sudah menimpa. Doa adalah senjata orang beriman”.
Wahai ayah dan ibu.. kita hanya manusia biasa yang tidak mempunyai kemampuan selain hanya berusaha dan yang tidak boleh lupa adalah berdoa. Banyaknya usaha kita tidak akan berarti tanpa kehendak dari Allah Ta’ālā. Maka dari itu, kita harus selalu menggantungkan semua urusan kita kepada-Nya, terlebih dalam urusan pendidikan anak. Tanpa bimbingan dan pertolongan dari Allah Ta’ālā, kita tidak akan dapat melihat bagaimanakah tabungan itu akan bermanfaat bagi kita di dunia dan akherat kelak. Oleh sebab itu, memperbanyak doa dalam mendidik anak adalah suatu hal yang tidak boleh kita lupakan. Wallāhu a’lam.
Bersambung…
[Rina]
Referensi dan Sumber Bacaan:
- Huqūq Da’at Ilayha Al-Fitrah wa Qarrarat-ha asy-Syari’ah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
- Nashiihatii Linnisaa’i, Ummu ‘Abdillah bintu Syaikh Muqbiil bin Hadi al Waadi’ii
- Nidaa’u ilaal Murabbiyiina wal Murabbiyaat litaujiihil Baniin wal Banaat, Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainuu.
- Taisiirul Kariimir Rahmaani fii Tafsiiri Kalaami Manaani, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nasir as-Sa’diy.
Mengukir Permata, Merangkai Mutiara #2
Pembaca yang budiman, mendidik buah hati bukanlah perkara mudah. Sebagaimana perumpamaan mengukir permata yang telah disampaikan di edisi sebelumnya. Tatkala orang tua tengah menghadapi masa mendidik anak, maka sangat perlu untuk mengetahui hal apa yang mula-mula kita ajarkan pada anak. Berikut ini beberapa hal yang perlu kita ketahui.
Mulai dari Yang Penting, Kemudian Yang Penting Berikutnya
Waktu ini bukanlah milik kita yang dapat kita atur sendiri, waktu ini terus berputar dan kita tetap harus berjalan, bahkan berlari agar kita tak tertinggal. Mungkin kita akan tidak mampu jika harus mengerjakan semua hal pada waktu yang sama, padahal kita tetap harus mencapainya. Begitu juga dalam mendidik anak, kita harus memberikan pengetahuan tentang agamnya, yang mungkin itu adalah pengetahuan yang seluruhnya penting. Akan tetapi, kita tidak mungkin akan memberikannya seluruhnya sekaligus. Oleh karena itu, kita mulai dari yang terpenting, kemudian yang penting berikutnya.
- Menanamkan tauhid pada anak sejak kecil
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā menceritakan, “Suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Dari hadits tersebut dapat kita ambil beberapa faidah tentang pendidikan anak, diantaranya:
- Kecintaan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam pada anak kecil, ditunjukkan dengan sikap beliau yang membonceng Ibnu Abbas (yang masih kecil) di belakangnya dan memanggilnya dengan panggilan “yā ghulām” yang bisa kita terjemahkan “nak”.
- Hadits tersebut berisi perintah kepada anak untuk taat kepada Allah dan menjauhi maksiat demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Allah akan menyelamatkan orang-orang yang beriman dari kesulitan ketika mereka menunaikan hak Allah dan hak sesama manusia ketika bahagia, sehat, dan kaya.
- Menanamkan aqidah dalam jiwa anak dengan hanya meminta dan memohon perlindungan kepada-Nya.
- Menetapkan aqidah, iman kepada takdir, takdir yang baik maupun yang buruk dan itu adalah salah satu dari rukun iman.
- Perintah mendidik anak untuk selalu semangat menghadapi kehidupan dengan keberanian dan cita-cita dan menjadi seseorang yang bermanfaat untuk umat.
- Mengenalkan fiqih dengan keteladanan nyata
Setelah penanaman tauhid dan aqidah pada anak, kini waktunya mereka mulai mengenal untuk apakah semua itu, bagaimanakah cara mengagungkan nama Penciptanya, bagaimanakah megungkapkan rasa cintanya kepada Sang Pencipta dan beribadah kepadaNya. Oleh karena itu, kenalkan dan ajarkanlah fiqih secara bertahap, sebagaimana yang telah dicontohkan kepada kita.
Dari Ibnu Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka untuk dipaksa shalat, ketika mereka berusia sepuluh tahun.” (HR. Abu Daud 495 dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengajarkan agar bertahap dan perlahan ketika mengajarkam fiqih, terutama fiqih-fiqih yang diperlukan sehari-hari. Kita ajarkan mulai dari yang penting, seperti fiqih thaharah yaitu wudhu, fiqih shalat kemudian baru berlanjut ke materi fiqih lain yang dapat dipahami anak. Materi fiqih biasanya akan lebih mudah jika dijelaskan dengan praktek. Sehingga anak akan melihatnya secara langsung. Hal yang paling penting adalah keteladanan dari orang-orang di sekelilingnya, itu akan sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.
- Menumbuhkan kecintaan kepada ilmu, Al-Qur`an, dan orang-orang shalih
Menumbuhkan kecintaan pada ilmu dan Al-Qur`an serta mengajarkannya pada anak-anak bukanlah perkara yang mudah. Kesulitannya tidak dapat tergambarkan dan hanya bisa diibaratkan dengan mengukir di atas batu supaya manusia mengetahui betapa sulitnya. Kendati demikian, jika kita terus berusaha mengajarkan ilmu dan Al-Qur`an kepada anak maka hasilnya adalah seperti ukiran di atas batu yang akan sulit terhapus dalam ingatannya.
Menanamkan kecintaan kepada ilmu dan Al-Qur`an dapat kita lakukan dengan cara menceritakan kisah-kisah orang-orang shalih dengan berbagai kelebihan mereka dalam hal ilmu dan menghafal Al-Qur`an setiap menjelang tidur. Dikarenakan waktu menjelang tidur adalah waktu yang baik untuk memberikan doktrin-doktrin yang diharapkan meresap pada diri anak. Kisah-kisah yang kita sampaikan nantinya akan terbawa dalam khayalan tidur mereka, sehingga akan menumbuhkan keinginan dan cita-cita dalam jiwa anak, ingin menjadi seperti tokoh yang diceritakan. Menggunakan metode kisah ini adalah suatu cara yang cukup efektif, karena pada umumnya anak-anak menyukai cerita dan membutuhkan figur yang dapat dijadikan idola dalam hidupnya.
- Mengajarkan akhlak dan adab
Banyak contoh dari Rasulullah tentang bagaimana beliau mengajarkan adab kepada anak-anak. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhu, “Saat saya masih kecil dalam asuhan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, saya menggerak-gerakkan tangan di dalam nampan (yang ada makanannya). Lantas Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam menasihatiku, “Nak, sebutlah nama Allah (yaitu bacalah bismillāh saat hendak makan). Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang ada di sisi dekatmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5376).
Hadits tersebut menunjukkan kelembutan dan kepiawaian Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika menasehati, terutama kepada anak-anak. Beliau memanggil dengan panggilan sayang kemudian baru menyampaikan apa yang beliau inginkan. Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan teguran dan pelajaran kepada Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhu yang pada waktu itu masih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak mengapa kita menyalahkan perbuatan anak dengan tujuan membenarkan dan memberikan pelajaran.
- Menanamkan pada anak: jika tak sayang, tak kan disayang
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah teladan dari segala hal, bahkan dalam hal menyayangi anak-anak. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dalam hadits Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam mencium Hasan bin ‘Ali dan di dekatnya duduklah ‘Aqra` bin Jabis At-Tamimi, kemudian ‘Aqra` berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, dan aku tidak pernah menciumnya satupun.” Rasulullah melihat kepadanya dan berkata, “Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”
Hadits tersebut menggambarkan secara jelas kepada kita tentang betapa besarnya kasih sayang Rasullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada anak-anak. Selain itu beliau juga memberikan contoh bagaimana mengungkapkan kasih sayang kita pada anak-anak. Hak yang harus ditunaikan orangtua kepada anaknya bukanlah hanya kebutuhan materi semata, hak yang terpenting adalah kasih sayang dari kedua orang tuanya dan orang-orang di sekelilingnya. Hal tersebut akan membantu pertumbuhan kepribadian dan kepercayadirian anak.
Menanamkan jiwa sosial pada anak adalah dimulai dari dalam lingkungan keluarga yang melingkupi anak tersebut. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan, kemantapan jiwa anak dalam keluarga akan sangat mempengaruhi bagaimana dia akan hidup di masyarakat. Dimulai dari lingkungan keluarga yang kondusif, sejak kecil anak harus dikenalkan dengan lingkungan sekitar, baik itu lingkungan masyarakat ataupun lingkungan tempat hidup. Dengan demikian anak akan lebih mudah berteman dan beradaptasi.
Pertumbuhan dan perkembangan anak pastilah dipengaruhi oleh lingkungan kehidupannya. Kepribadian seseorang pastilah terbentuk dari berbagai hal yang dialaminya mada masa pertumbuhan, yaitu dari anak-anak hingga ia menginjak dewasa. Hal-hal yang mempengaruhi hal itu di antaranya adalah keluarga, lingkungan, pendidikan formal, teman, dan sifat bawaan dari anak itu sendiri.
Tunjukkan Bahwa Itu Semua Adalah Karena Kita Sayang Padanya
Hal yang perlu kita amati sebelum melangkah dan mengayunkan pena kita di atas kertas putih itu (anak-anak) adalah kepribadian. Seperti apakah kertas yang akan kita tulisi, sehingga kita mengetahui bagaimana kita harus menulis agar kertas itu tidak rusak. Kita harus mengenal dengan baik kepribadian dan bakat anak sehingga kita akan dapat mengarahkannya dengan mudah sesuai dengan kepribadian dan bakatnya.
“Tidak beriman seorang hamba, hingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan itu untuk dirinya sendiri,” (Muttafaqun ‘alayhi). Jika Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kita untuk memberikan kebaikan yang kita cintai kepada saudara kita, maka terlebih lagi kepada anak-anak kita sendiri.
Wahai ayah.. bunda.. Mari kita lakukan segala upaya untuk membuatnya indah dan berkilau adalah karena Allah Ta’ālā, kemudian karena kasih sayangmu kepadanya. Karena engkau menginginkan ia menjadi hamba-Nya yang taat kepada Rabbnya, karena engkau tak ingin melihatnya dilempar ke dalam panasnya api neraka dan karena engkau rindu untuk dipertemukan kembali dengnnya di Firdaus-Nya kelak. Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita dalam mendidik anak-anak kita. Āmīn. Allāhul musta’an. Allāhu a’lam.
[Rina]