Bismillāh. Segala puji bagi Allah Ta’ālā yang atas pertolongan-Nyalah segala kebaikan tercapai dengan sempurna. Shalawat dan salam semoga selalu meliputi hamba sekaligus Nabi-Nya, beserta keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya. Wahai saudariku tercinta tahukah dirimu..

 

Apa itu Sunnah?

Sunnah secara mutlak ada empat, yaitu:

  1. Sunnah yang berarti jalan hidup dan metode Rasulullah shallāllāhu ‘alayhi wa sallam dalam beragama.
  2. Sunnah yang berarti mustahab (dalam pembahasan fiqih -berupa hukum-) yang artinya jika ditinggalkan tidak berdosa, jika dikerjakan mendapat pahala.
  3. Sunnah yang berarti Al-Hadist, yaitu salah satu dari dua hal yang jika dipegang tidak tersesat umat muslim.
  4. Sunnah yang berarti lawan dari bid’ah.

Ketika suatu bahasan membawa istilah sunnah dalam topiknya, misalnya perkataan bahwa shalat itu sunnah, ini bukan makna sunnah yang ke-2 (mustahab), tapi makna yang ke-1 yaitu jalan hidup atau metode (beribadah)-nya Rasulullah shallāllāhu ‘alayhi wa sallam. Sunnah makna pertama bisa saja bermakna fardhu pada pembahasan fiqih. Dalam hal ini sunnah yang akan kita bahas adalah sunnah dengan definisi pertama dan kedua. Tapi lebih cenderung pada yang kedua. Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah untuk memahami pemaknaannya.

 

Sunnah yaitu akidah (keyakinan yang prinsip) yang berasal dari Rasulullah shallāllāhu ‘alayhi wa sallam dan para shahabat (terutama konteksnya dalam hal agama dan ibadah). Seiring berjalannya zaman, sunnah-sunnah yang telah ditanamkan Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam pada umat Islam semakin terkikis, di antara sebabnya adalah syubhat (keragu-raguan dan ketidakjelasan) atau bid’ah yang menggamangkan keabsahan sunnah dan memutarbalikkan syariat. Sebab lainnya yaitu syahwat dan keinginan kuat pada hal duniawi yang menarik mundur semua bentuk ketaatan yang dinilai berlawanan dengan syahwat tersebut.

Padahal telah jelas keutamaan menjalankan sunnah Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam bagi yang telah mencari ilmu tentangnya dan mengambil pelajaran darinya. Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah yang baik niscaya baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengamalkannya adalah sampai pada hari kiamat nanti. Lalu di antara tanda kebaikan seseorang adalah jika dia mau melakukan ketaatan, tindakan-tindakan yang sesuai sunnah, suka bergaul dengan orang shalih, dan berakhlaq baik terhadap kawannya.

Akan tetapi, orang yang menjalankan sunnah Islam bisa jadi dianggap asing/aneh oleh masyarakat yang belum mengenal Islam dengan baik, hal ini sebagaimana tergambarkan dalam sebuah perkataan, “Lebih asing lagi ialah orang yang setia mengamalkan sunnah sejak ia tahu sampai meninggal dunia, bahkan ia menegakkannya di tengah-tengah orang yang tidak mau menegakkanya”.

Kita telah memahami makna sunnah, keutamaan-keutamaannya, dan sifat pelakunya yang pada umumnya dalam keterasingan dalam mengamalkannya. Selanjutnya, mari kita lihat sunnah-sunnah Rasul kita yang telah dikabarkan paling berpotensi dilalaikan dan memang di antaranya telah dilalaikan. Semoga kita semua diberi pertolongan oleh Allah Ta’ālā untuk bisa senantiasa mengikutinya.

 

Sunnah Khusyuk dalam Shalat

Ibnu Katsir dalam tafsirnya Madārij Ash-Shālihīn menyebutkan bahwa shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallāhu ‘anhu mengatakan,

Pertama kali yang akan hilang dari agama kalian adalah khusyuk dan hal terakhir yang akan hilang adalah shalat. Betapa banyak orang yang shalat, tapi tidak ada kebaikan di dalamnya. Boleh jadi, saat engkau masuk sebuah masjid untuk shalat berjamaah, hampir-hampir tidak engkau jumpai di dalamnya orang yang khusyuk.”

Inilah sunnah.. yang pertama kali Allah angkat ilmunya ke langit. Sunnah yang paling mudah ditinggalkan dan karenanya membuat banyak celaan dari Allah Ta’ālā bahkan celaan tersebut dialamatkan pada para shahabat yang keimanannya melebihi kita para penghuni akhir zaman.

Allah berfirman (yang artinya), “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),” (QS. Al-Hadīd: 16). Kata ‘tunduk’ (takhsya’a) di sini bermakna sama dengan khusyu’. Di dalam ayat yang lain Allah Ta’ālā juga berfirman tentang keutamaan orang-orang yang khusyu’, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,” (QS. Al-Mu’minūn: 1—2).

Oleh karena keutamaan khusyu’ dan celaan bagi orang yang tidak khusyu’, mari kita berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, hati yang tidak mampu menangis dan takut pada-Nya, serta tunduk kepada kebenaran setelah datangnya kebenaran tersebut pada kita. Āmīn.

 

Sunnah Shalat Dua Rakaat Ketika Sedang Bertengkar

Diriwayatkan dari Abu Umamah  ia berkata, Rasulullah  shallāllāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Pelebur setiap pertengkaran adalah shalat dua rakaat,” (Shahīh Al-Jamī’, hasan).

Dahulu yang berperan sebagai pendamai pertengkaran di antara para shahabat adalah Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam. Setelah Nabi wafat, sunnahnya (dalam hal ini shalat dua rakaat setelah bertengkar) telah mewakili sosok pribadi beliau dalam meredamkan pertengkaran.

Seandainya dua orang yang sedang bertengkar mereka menuruti perintah Rasulullah shallāllāhu ‘alayhi wa sallam untuk segera berwudhu itu sudah cukup untuk memadamkan api amarah, apalagi ketika mereka meneruskannya dengan shalat dua rakaat menghadap Allah memohon ampunan kepada-Nya dan saling memaafkan di antara keduanya. Oleh karenanya, hal tersebut merupakan kafarat (penghapus) atas dosa yang telah ia lakukan sekalipun ia merasa di pihak yang benar. Shalat pada hal ini akan memberikan rasa tenang, lapang dada, dan penyesalan karena pertengkaran tidak mendatangkan hikmah sebaliknya mendatangkan dosa karena buruknya perbuatan dan ucapannya pada saudaranya, begitu juga pada kebenaran yang dibawanya jika dia memang membawa kebenaran.

Ketahuilah, sebuah hadist tentang tiga orang yang shalatnya tidak diterima oleh Allah Ta’ālā, salah satunya adalah sepasang saudara yang putus hubungan persaudaraannya dikarenakan salah satu penyebabnya adalah timbulnya pertengkaran di antara mereka.

 

Sunnah Niqab atau Cadar

Terlepas dari apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah sunnah. Telah jelas bukti adanya ajaran niqab atau cadar dalam Islam. Di antaranya adalah hadist Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam, “Wanita berihram itu tidak boleh menggunakan niqab maupun kaos tangan,” (HR. Muslim 1383).

Berkaitan dengan hadist tersebut, Syaikhul Islam rahimahullāh menjelaskan ketika menafsirkan An-Nur, “Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihram. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”

Dalil kedua datang dari putri dari As-Shidiq Abu Bakr, Asma’, dia berkata, “Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki saat berihram dan sebelum menutupi wajah kami menyisir rambut.”

Sunnah ini banyak ditinggalkan dan diabaikan karena masyarakat pada umumnya mengetahui ajaran menutup wajah ini adalah ajaran baru atau tradisi bangsa Arab saja karena udara di daerah tersebut yang panas. Akan tetapi, telah jelas bukti dari dalil-dalil di atas bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran dengan mencari ilmu tentang niqab, bahwa ajaran menutupi wajah adalah ajaran Islam sejak masa silam.

Berkaitan dengan hukum asal dari niqab atau cadar adalah sunnah, maka muslimah yang hendak melaksanakan sunnah ini juga perlu bersikap bijak. Apabila melaksanakan sunnah ini menimbulkan kemudharatan yang besar di tengah-tengah masyarakat atau di keluarga maka hendaknya kita senantiasa mempertimbangkan mafsadah (keburukan) dan manfaatnya serta mendahulukan hal-hal yang hukumnya wajib. Misalnya ada seorang muslimah yang hendak menggunakan niqab namun mendapat larangan keras dari orang tua untuk mengenakannya, maka dalam kasus semacam ini perintah orang tua wajib dituruti karena berbakti kepada orang tua hukumnya wajib sedangkan memakai niqab hukumnya sunnah. Meskipun demikian, ia juga berkewajiban untuk berdakwah dan memberikan penjelasan dengan perlahan serta bijak kepada orang tua maupun masyarakat.

 

Sunnah Menghindari Membungkuk untuk Sujud Sebelum Imam Shalat Benar-Benar Telah Sujud

Satu lagi tentang shalat yang telah banyak ditinggalkan pelaku-pelakunya di akhir zaman ini. Padahal telah jelas sabda Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam, “Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.”

Telah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencari tahu kabar yang Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam atau para shahabat telah bawakan dalam hadist-hadist tentang shifat (hal-hal yang terkandung, termasuk tata cara dan sunnah) shalat Nabi. Celaan yang besar bagi yang mengabaikan diri dari mencari tahu dan menuntut ilmu. Terlebih shalat adalah amalan zhahir (nampak) yang setiap hari kita laksanakan. Bagaimanapun, tidak bisa ada udzur untuk kita atas ketidaktahuan kita tentang syariat agama ini!!

Telah datang hadist dari salah satu ahli hadist paling utama di antara para shahabat, sebutlah shahabat Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu ketika beliau shallāllāhu ‘alayhi wa sallam mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal), kami masih tetap berdiri (i’tidal) sampai kami melihat beliau benar-benar sujud.

Tabiat manusia adalah tergesa-gesa namun ini tidak bisa menjadi udzur untuk kita lalai dalam shalat. Agama ini telah sempurna syariat dan aturan-aturannya untuk kita taati selama hidup di dunia ini. Bukan sikap yang tepat bagi seorang muslim untuk mengabaikan ajaran Islam dan berlaku seenaknya.

 

Penutup

Dari semua bentuk sunnah yang terlalaikan dan hilang tersebut, baik hilangnya karena terkikis oleh keragu-raguan dan ketidakjelasan (syubhat) atau oleh keinginan duniawi (syahwat), ada baiknya kita tidak menjadikan masalah-masalah yang masih menjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) sebagai sarana pertentangan dan permusuhan kita pada orang-orang yang belum bisa melakukan sunnah tersebut. Kita harus mencoba menjaga kecintaan dan persaudaraan seiman, bukan sebaliknya saling bertengkar dan memutuskan hubungan hanya karena masalah yang bersifat furu’ (cabang).

Hanya Allah-lah yang memberikan pertolongan dan bimbingan ke jalan yang lurus yang semoga kita menjadi salah satu yang mendapatkan pertolongan tersebut. Adapun yang telah kita sepakati absahnya sunnah tersebut, sebaiknya buang jauh-jauh segala syahwat yang menghalangi kita untuk taat. Yakinlah tidak akan ada udzur lagi bagi kita jika kita masih melakukan pengabaian dan kelalaian di tempat yang sama. Janganlah kita hanya menggantungkan diri pada maghfirah Allah atau syafa’at Nabi shallāllāhu ‘alayhi wa sallam.

Sungguh salah satu bukti kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan istiqamah menjalankan ketaatan baik yang sunnah apalagi yang wajib. Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang taat dan istiqamah di atasnya.

 

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya,” (QS. Al-Hasyr: 7).

 

Wallāhu a’lam bish-shawab.

[Lungit Fika Fauzia]

 

Sumber referensi:

  1. Syihab Badri Yasin. 2003. Sunnah-Sunnah yang Terabaikan. Terj. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
  2. Syaikh Mu’min Al-Haddad. 2007. Khusyuk Bukan Mimpi. Terj. Solo: AQWAM.
  3. Muhammad Abduh Tuasikal. 2013. Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris. Ed. Revisi. Yogyakarta: Pustaka Muslim.
  4. Abdurrahman Thoyyib. 2014. https://www.youtube.com/watch?v=8NLX4PN3Dg8. Apakah Makna Sunnah?