Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Tahun berganti, wajah-wajah baru mulai bermunculan di bangku-bangku kuliah. Berbagai aktivitas dan kesibukan menanti di depan mata. Setumpuk tugas dan jadwal kuliah yang padat telah menguras tenaga serta pikiran. Dalam keadaan seperti ini, seakan tidak ada lagi waktu tersisa untuk mempelajari agama kita yang mulia ini, benarkah?

 

Belajar Ilmu Agama Adalah Hal yang Utama

Saudariku, tahukah engkau apa tujuan penciptaan kita? Allah Ta‘ala berfirman (yang artinya), “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. adz-Dzaariyaat, 51: 56). Ya, kita diciptakan bukan untuk semata-mata bersenang-senang saja, bukan untuk bersenda gurau saja, tapi untuk beribadah kepada Allah ‘azza wa jallaa.

Tidak mungkin kita mengetahui berbagai ibadah kecuali dengan mempelajarinya. Bagaimana kita bisa melaksanakan berbagai rukun Islam yang merupakan tonggak agama ini, tanpa mempelajari tata caranya? Bukankah di kubur nanti, yang akan ditanyakan kepada kita adalah siapa Rabb kita, siapa nabi kita, dan apa agama kita? Bukannya berbagai struktur molekul atau anatomi tubuh manusia.

Ketahuilah saudariku, bahwa salah satu tanda Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang adalah pahamnya orang tersebut terhadap agamanya. Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah inginkan terhadapnya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia terhadap agamanya” (HR. Bukhari Muslim).

Dari hadits tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ketidakpahaman seseorang terhadap agamanya menunjukkan bahwa dirinya bukan orang yang dikehendaki oleh Allah Ta‘aalaa untuk mendapatkan kebaikan, meskipun dia ahli dalam berbagai masalah ilmu dunia.

Dengan ilmu agama pula, kita akan diberi kemudahan meniti jalan menuju surga. Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu agama maka akan dimudahkan jalannya menuju surga” (HR. Muslim). Siapa di antara kita yang tidak menginginkan surga-Nya? Oleh karena itu, inilah saatnya bagi kita untuk berlomba-lomba untuk menuju surga-Nya, wahai saudariku.

Adapun ilmu agama yang memiliki hukum fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap orang) adalah ilmu tentang aqidah berupa rukun iman, dan ibadah seperti bersuci, shalat, puasa, zakat, serta ibadah wajib lainnya. Selanjutnya ilmu agama yang hukumnya fardhu kifayah (harus ada sebagian orang Islam yang menguasai, bila tidak ada maka semua kaum muslimin di tempat itu berdosa) adalah ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tentang waris, ilmu bahasa, dan ushul fiqih.

 

Bagaimana dengan Ilmu Dunia?

Menurut ulama, hukum ilmu duniawi adalah fardhu kifayah. Dari sini, dapat kita simpulkan, jika telah ada sebagian orang Islam yang menguasai suatu ilmu dunia di tempat itu, maka gugur kewajiban yang lain untuk mempelajarinya. Mempelajari ilmu dunia dapat berpahala apabila dengannya kita berniat untuk memberi kemanfaatan bagi orang banyak dan bagi kemajuan Islam.

Ingatlah saudariku, mempelajari ilmu dunia di bangku kuliah adalah amanah orang tua kita, jangan sampai kita menyia-nyiakan amanah tersebut dengan tidak mengoptimalkannya. Namun, jangan pula berbagai kesibukan kuliah membuat kita melupakan ilmu agama. Terkait masalah ini, terdapat fatwa dari seorang ulama yang dapat menjadi modal semangat kita untuk melangkah di bangku kuliah dengan tidak melupakan agama.

Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullaah –seorang ulama Saudi Arabia- pernah ditanya, “Sebagian pemuda muslim punya kecenderungan untuk serius mempelajari ilmu pengetahuan umum. Seperti ilmu kedokteran atau aktif dalam penelitian-penelitian modern lainnya. Katanya mereka bertekad untuk mengurangi ketergantungan kaum muslimin kepada orang kafir dan musyrik. Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena tersebut?”

Beliau menjawab, “Itu hal yang bagus dilakukan dan dia akan mendapatkan pahala. Hanya saja dia tidak boleh meninggalkan aktivitas belajar ilmu agama yang ia butuhkan. Jadi, pertama-tama dia harus mempelajari masalah-masalah agama yang sifatnya dharuurii –penting- (yaitu ilmu agama yang setiap muslim wajib untuk memahaminya, seperti aqidah, hukum bersuci, shalat, zakat, puasa sehingga ia tidak sampai meninggalkan kewajiban dan melaksanakan yang haram, pen). Setiap muslim tidak boleh meninggalkan ilmu seperti itu. Jika seseorang serius mempelajari ilmu kedokteran dan semacamnya dari ilmu dunia sementara ia tidak mengetahui ilmu agama yang wajib dipelajari, maka tentu saja tidak boleh.”

 

Bisakah Keduanya Berjalan Bersama?

Bagi sebagian muslimah, berbagai kesibukan kuliah saja mungkin sudah terasa berat, apalagi jika harus ditambah dengan belajar ilmu agama. Akan tetapi sesuatu yang sulit, bukan berarti tidak bisa dijalankan. Telah banyak cerita sukses dari mereka yang berhasil menggabungkan keduanya. Ada seorang dosen yang bergelar doktor di bidang teknik, yang saat ini sedang menempuh kuliah doktoral di bidang agama, dan rutin mengisi kajian Islam di lingkungan kampus. Ada pula dokter yang menulis buku tentang aqidah dan juga rutin mengisi kajian Islam. Ada juga seorang dosen muslimah di bidang ilmu komputer, namun juga menjadi pengajar bahasa Arab.

Jika mereka bisa, maka dengan izin Allah Ta‘ala, kita juga bisa seperti mereka. Memang tidak setiap orang harus menjadi ustadz atau ustadzah, tetapi minimal kita mempelajari ilmu agama yang merupakan fardhu ‘ain bagi setiap manusia. Dengan demikian, boleh saja seseorang menjadi insinyur, dokter, dosen, atau yang selainnya, asalkan ilmu agama tetap di dada. Lantas bagaimana caranya?

[1] Semangat yang tinggi dan usaha yang optimal

Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bersemangatlah terhadap apa-apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah engkau lemah” (HR. Muslim). Hadits ini dapat menjadi pendorong semangat kita untuk terus bersemangat terhadap ilmu yang kita pelajari, yang tentu bermanfaat baik bagi dunia maupun akhirat kita. Semangat yang tinggi ini akan memicu kita untuk mengoptimalkan usaha dan tidak mudah berputus asa.

[2] Membagi waktu, menyusun perencanaan, dan target

Mari maksimalkan waktu kita. Saat kuliah, perhatikanlah dengan baik materi yang disampaikan pengajar. Saat kajian, jangan memikirkan tentang kuliah, catatlah setiap faidah yang disampaikan oleh ustadz, dan jangan sibuk sendiri.

Buat perencanaan untuk 24 jam waktu yang kita miliki, misal, pagi hingga siang untuk kuliah, sore untuk belajar agama, dan malam untuk mengerjakan tugas kuliah atau membaca buku agama. Yang pasti, marilah kita tidak meninggalkan ibadah-ibadah wajib karena kesibukan kita, mari tidak lupa untuk membaca al-Qur’an dan mempelajarinya. Buatlah target-target harian, dan tulislah, sehingga tidak ada hal penting yang tertinggal di hari itu.

[3] Tinggalkan yang sia-sia

Tidaklah kita bisa mengefektifkan waktu, kecuali dengan meninggalkan berbagai perbuatan yang sia-sia. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Di antara (tanda) kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya” (HR. at-Tirmidzi, hasan). Di antara perbuatan yang sia-sia adalah yang tidak memberi kita manfaat, baik di dunia maupun akhirat.

[4] Cari teman dan lingkungan yang kondusif

Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Seseorang ada di atas agama temannya, maka hendaknya seseorang meneliti siapa yang dia jadikan temannya” (HR. Ahmad & Abu Dawud, hasan). Maka, teman yang baik agamanya akan membuat kita semangat untuk memperbaiki agama kita, dan juga sebaliknya. Lingkungan yang mendukung kita untuk belajar, juga akan sangat mendukung keistiqamahan kita dalam menuntut ilmu.

[5] Memohon pertolongan kepada Allah

Maka kukatakan, saudariku, jika kita bisa menghafal diktat kuliah berlembar-lembar, maka tentu bisa menghafal al-Qur’an. Jika kita bisa membaca buku teks kuliah berjilid-jilid, maka tentu kita bisa membaca banyak buku-buku agama. Jika kita mampu berlama-lama duduk di ruang kuliah, seharusnya kita mampu berlama-lama duduk di majelis ilmu. Dengan pertolongan Allah, kita akan mampu menjalankan semuanya, menggabungkan antara kemuliaan ilmu agama dengan ilmu dunia. Wallaahu Ta‘aalaa a’lam, wa shallaallaahu ‘ala nabiyyina wa ‘ala aalihi wa ashhaabihi ajma’iin.

Dari semua hal di atas, tentu saja poin ini adalah yang paling penting. Setelah segala usaha yang kita lakukan, hanya Allah yang dapat menentukan apakah kita berhasil ataukah gagal. Namun, hal ini jangan lantas membuat kita berputus asa, karena Allah menilai proses dari apa yang kita tuju, bukan hasil akhirnya. Tawakkal selalu menjadi kunci utama. Ingatlah selalu firman Allah ini (yang artinya) “Jika tekadmu sudah bulat, maka bertawakkal-lah kepada Allah!” (QS. Ali Imran: 159).

======== 

Referensi:

Artikel “Hakikat Ilmu” oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. dalam website muslim.or.id.

Artikel “Hukum Belajar Ilmu Teknik” oleh Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dalam website www.rumaysho.com.

Makalah “Hidupmu Lebih Mulia dengan Ilmu Syar’i” oleh Ustadzah Ummu Yasir.

 

Penulis: Maria Nova Nurfitri

Artikel Buletin Zuhairoh