Sahabatku, pernahkah engkau mendengar hadits ini?
”Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan sesungguhnya agama ini (Islam) akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh puluh dua golongan tempatnya di neraka dan satu golongan di dalam surga.” (H.R. Ahmad dan yang lain, Al Hafizh menggolongkannya sebagai hadits hasan).
Banyaknya golongan-golongan dalam Islam merupakan sebuah musibah. Kaum muslimin bagaikan buih lautan. Jumlahnya banyak, namun lemah akibat hati umat yang berpecah belah. Golongan-golongan ini tidak lain muncul karena masing-masing golongan mengikuti bujuk rayu setan untuk memahami al-Quran dan hadits dengan akal pemikiran dan perasaannya sendiri. Sementara telah jelas keterbatasan akal pemikiran dan perasaan untuk menjangkau kebenaran. Mereka menganggap ada banyak jalan menuju hidayah Allah, padahal sungguh jalan kebenaran hanya satu!
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata (yang artinya), ”Pada suatu hari Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam membuat untuk kami sebuah garis lurus dan bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis-garis lain di kanan dan kirinya dan bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan lain, dan pada setiap jalan ini terdapat setan yang menyeru kepada jalan-jalan tersebut.’ Beliau lalu membaca (firman Allah Ta’aala yang artinya), ”Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang akan memecah belah kamu dari jalan-Nya” (Q.S. Al An’aam:153).
Menjadi Golongan yang Selamat di Jalan Allah yang Lurus
Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabada (yang artinya), ”Semua golongan tersebut tempatnya di neraka, kecuali satu (yaitu) jalan beragama yang dititi oleh aku dan para sahabatku.” (H.R. At-Tirmidzi, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jaamii’).
Sungguh Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam telah meninggalkan islam dalam keadaan terang benderang, hingga malamnya bagaikan siang. Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam telah meninggalkan Islam dalam keadaan yang sempurna. Apabila akal dan perasaan seseorang mencoba menyempurnakan agama ini atau menghiasinya dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, maka sesungguhnya ia telah berpaling menuju jalan yang menyimpang. Tak ada jalan lain untuk meraih jalan yang lurus kecuali mengikuti pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami al-Quran dan hadits.
Mengapa harus para sahabat? Karena merekalah yang menyaksikan al-Quran diturunkan dan mendapat petunjuk langsung dari Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam. Dengan demikian, penafsiran dan pemahaman merekalah yang paling benar. Pemahaman para sahabat inilah yang disebut pemahaman salafus shalih (pendahulu yang shalih).
Berpegang Teguh pada Al-Quran dan Hadits Berdasarkan Pemahaman Salafus Shalih
Perpecahan di antara kaum muslimin, sekalipun hati sangat membenci dan tidak mengharapkannya, merupakan sunnatullah (ketetapan Allah) yang pasti terjadi dan telah terjadi. Maka, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam pun berwasiat agar hati kaum musimin tetap teguh di atas agama Allah.
”Dan sesungguhnya siapa saja orang-orang yang hidup di antara kalian sesudahku, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian pegang sunnahku dan sunnah para khulafaaur raasyidiin (khalifah yang mendapatkan petunjuk). Peganglah dia dan gigitlah dengan gigi geraham kalian” (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan lain-lain).
Maka renungkanlah, wahai sahabatku … Bagaimana Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam menjadikan kalimat ini sebagai wasiat bagi kaum muslimin untuk mengetahui kebenaran dan kemurnian jalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menginginkan umatnya menghadapi berbagai perselisihan dan perseteruan dengan cara berpegang teguh pada pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum. Sungguh pemahaman salafus shalih dalam memahami al-Quran dan hadits adalah yang menyelamatkan dan menghindarkan kaum muslimin dari perpecahan.
Bahkan, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam menyejajarkan sunnah (tuntunan) beliau shalallahu ’alaihi wa sallam dengan sunnah (tuntunan) para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Hal ini menjelaskan bahwa syarat mengikuti sunnah beliau shalallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti sunnah para sahabat. Hal ini dikarenakan, Allah sendiri telah ridha terhadap para sahabat dalam segala hal yang mereka lakukan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (yang artinya), ”Orang-orang yang terdahulu dan yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan dan mereka pun ridha kepada Allah” (Q.s. At-Taubah: 100).
Ancaman Bagi Orang-Orang yang Menyelisihi Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dan Sahabat radhiyallahu ’anhum
Allah Ta’aala berfirman (yang artinya), ”Barangsiapa yang mendurhakai Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam. Dan jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S. An-Nisaa`: 115).
Pada ayat ini, orang-orang mukmin yang dimaksud adalah orang-orang mukmin pada zaman Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam, yaitu para sahabat. Sungguh terdapat ancaman yang sangat besar bagi orang-orang yang menggabungkan penentangan terhadap Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat. Padahal, menentang Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam saja sudah menimbulkan kerugian yang besar.
Wahai sahabatku, ketahuilah, kesesatan bagi orang-orang yang menentang Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat bisa berupa kesyirikan maupun kekafiran. Boleh jadi ketika seseorang menolak sebagian hadits Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam, ia menjadikan akal dan perasaannya sebagai tuhan. Ia lebih mendahulukan akal dan perasaan daripada ayat Allah dan hadits Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam yang menjelaskan wajibnya berpegang teguh pada pemahaman para sahabat dalam beragama. Sehingga hatinya terjatuh dalam kubangan lumpur kesyirikan dan kekafiran, yang pada akhirnya menyeretnya pada azab jahanam.
Maka berhati-hatilah, wahai sahabatku, untuk menjaga dirimu dari panasnya api jahanam. Sesungguhnya ini adalah adzab yang tak tertanggungkan sakit, pedih, maupun kehinaannya. Hati-hatilah menjaga hatimu agar senantiasa berada dalam koridor pemahaman yang benar. Banyaklah menuntut ilmu agama agar engkau menjadi muslimah yang tangguh dalam memegang al-Quran dan hadits di atas jalan yang lurus, sekalipun banyak setan menggoda untuk menyesatkanmu pada jalan-jalan yang menyimpang.
Maraaji’ (Referensi):
– Sittu Duror (Terj.). Syekh Abdul Malik Ramadhani.
– Limaadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy (Terj.). Salim Bin ‘Ied Al-Hilaly.
– Manhaj Al-Firqatun Najiyyah wa Ath-Thaifah Al-Manshurah (Terj.). Syaikh Muhammad Bin Jamil Zainu.
– Kun Salafiyyan ’alaa Al-Jaddah (Terj.). Syekh Dr. Abdussalam Bin Salim As-Suhaimi.
Penulis: Ummu ’Abdirrahman & Ummu Anas
Artikel Buletin Zuhairoh