Saudariku muslimah, marilah kita bersyukur kepada Allah ta‘āla atas setiap kenikmatan yang diberikan kepada para hamba-Nya. Sebuah anugerah yang indah dari Allah yang membedakan insan manusia dengan makhluk lainnya, yang menghiasi perjalanan hidup manusia hingga tampak indah dan berwarna, anugerah itu adalah ‘cinta’. Wajah yang murung menjadi tersenyum karena cinta, bunga-bunga bermekaran karena cinta, sebuah karang es yang dingin mencair karena cinta, hati pun menari karena cinta. Namun terkadang, seseorang itu bersedih karena cinta, maka carilah cinta sejati yang akan membuatmu selalu tersenyum dan menambah keimananmu kepada Rabbmu Yang Maha Penyayang.

Cinta dalam bahasa Arab disebut dengan ubb, berasal dari kata ḥabba yuḥibbu yang artinya zat yang paling dalam. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa terungkapkan dengan kalimat, sulit diraba oleh kata, tidak cukup tergambarkan oleh pena, kecuali dengan kata ‘cinta’ itu sendiri. Ibnu Qayyim mengungkapkan, “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madaarijus Salikiin, 3/9)

Ada Apa dengan Pacaran???

Saudariku muslimah… begitu indahnya cinta, begitu tampak indahnya jatuh cinta, mencintai, dan dicintai. Ketika rasa cinta itu melanda hati anak manusia, bergejolaklah hatinya, merindukan orang yang dicintainya. Begitulah kiranya mungkin yang terjadi pada pemuda dan pemudi yang mulai tertarik pada lawan jenis, dan mulailah mereka menjalin suatu hubungan yang saat ini sudah menjadi tren dan gaya anak remaja zaman sekarang, bernama pacaran. Pada zaman ini, pacaran bukan lagi untuk mencari pasangan, tetapi pacaran hanya sekedar main-main dan mengikuti budaya barat yang saat ini kian merebak.

Muslimah… relakah dirimu bila cinta yang suci itu ternodai dengan banyak hal yang terkandung dalam istilah ‘pacaran’ itu? Relakah sesuatu yang paling dalam dari hatimu itu tenggelam dalam pekatnya lumpur hubungan tak jelas itu?

Saudariku, mari kukenalkan padamu sedikit tentang hal-hal yang kiranya dilakukan oleh orang-orang yang berpacaran pada umumnya.

1. Berkhalwat dengan lawan jenis

Berkhalwat artinya berduaan dengan lawan jenis tanpa ditemani oleh mahram. Padahal Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya” (HR. Ahmad).

 

Khalwat adalah salah satu pintu menuju zina, karena dalam keadaan tersebut tidak ada lagi selain mereka berdua kecuali setan yang terus meniupkan hasutan untuk melakukan hal-hal yang mereka sukai namun dibenci oleh Islam, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa Rabb mereka Maha Mengetahui dan Maha Melihat.

 

2. Ikhtilaath

 

Saudariku muslimah, tidakkah engkau melihat pemuda-pemudi yang bukan mahram bercampur baur dan saling berbincang tanpa malu-malu lagi. Padahal Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keteladaan dalam pelaksanaan shalat berjamaah yang terdapat kaum laki-laki dan perempuan.

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan” (HR. Muslim).

Jika ketika menghadap Rabb kita saja, kita diperintahkan untuk memisahkan diri dari lawan jenis, lalu bagaimana jika di luar ibadah? Padahal Allah itu Maha Melihat dan Mengetahui, Dia selalu melihat dan mengetahui perilaku hamba-Nya di setiap waktu, tidak hanya ketika shalat saja.

3. Berbagai bentuk zina anggota badan

Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakan.

Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata. Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan.

Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki.

Sementara hati berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina hati. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyaadhis Shaalihiin karya asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 1622)

Saling memandang satu sama lain, saling bercengkerama dengan kata rayuan indah dan dibuai dengan bumbu-bumbu kebohongan, kemudian tangan pun mulai mencari-cari kesempatan untuk bisa meraih tangan kekasihnya. Kaki pun akan selalu ringan menuju kepada kekasihnya. Sementara hati, selalu merindukan dan mengangan-angankan kekasih yang memikatnya. Lalu, itu semua akan berujung kepada perbuatan zina. Saudariku muslimah… pantaskah engkau menodai kehormatanmu dengan perbuatan-perbuatan itu?

Islam tidak melarang seorang pria mencintai seorang wanita atau sebaliknya, bahkan Islam memberikan penghargaan yang begitu mulia dengan adanya pernikahan. Akan tetapi, kemuliaan itu tidak akan diraih kecuali dengan sesuatu yang mulia. Oleh karena itu, tempuhlah jalan yang mulia untuk meraih kemuliaan itu, saudariku.

 

Ta’aruf Syar’i bukan Pacaran Islami

Lalu bagaimana dua orang insan yang tidak saling mengenal bisa bersatu dan hidup bersama dengan berbagai kelebihan dan kekurangan antara keduanya? Mungkin, sudah sedikit engkau mengenal mengenai istilah ‘ta‘āruf’. Taaruf berasal dari kata bahasa Arab ‘arafa yang artinya mengetahui, kemudian mendapat tambahan huruf ‘ta’ dan ‘ra’ yang merubah artinya menjadi taarrafa bermakna saling. Jadi taāruf bisa diartikan saling berkenalan.

Ta’aruf bukanlah istilah untuk penghalalan pacaran sebelum pernikahan, tetapi istilah ini hanyalah nama untuk sebuah proses yang dilalui seseorang untuk mengenal calon pasangan dengan tetap menjaga adab dan syari’at yang berlaku. Seperti tetap menjaga pandangan, menutup aurat, tidak berkhalwat, tidak berpegangan tangan, dan tidak berta‘aruf melalui HP, sms, chatting, atau FB.

Ketahuilah saudariku… orang yang paling berhak untuk mencarikan pendamping untukmu adalah ayah. Oleh karena itu, barang siapa yang berniat menikahi seorang perempuan, maka cara yang paling tepat adalah menghubungi walinya.

Seorang wali yang ingin menikahkan anak gadisnya juga diperbolehkan mengenalkannya kepada seseorang yang dikehendaki. Sebagaimana ‘Umar bin Khaththab raḍiyallaahu ‘anhu memberikan contoh kepada kita tatkala mencarikan suami untuk putrinya, Hafshah. ‘Umar bin Khaththab raḍiyallaahu ‘anhu bercerita, “Aku mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan dan menawarkan Hafshah kepadanya. ‘Utsman menjawab, ‘Saya akan melihat urusan saya terlebih dahulu.’ Kemudian aku diam beberapa malam, lalu ‘Utsman menemuiku dan berkata, ‘Tampaknya saya tidak akan menikah dalam waktu dekat ini.’

Kemudian aku menemui Abu Bakr ash-Shiddiq, dan aku berkata, ‘Jika engkau menghendaki aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti ‘Umar.’ Abu Bakr hanya diam dan tidak memberikan jawaban apapun. Ternyata apa yang dilakukan lebih buruk dari apa yang dilakukan ‘Utsman kepadaku. Aku pun menunggu beberapa malam, kemudian Rasulullah meminang Hafshah dan kunikahkan Hafshah dengannya.…” (HR. Bukhari)

Lalu bagaimana mungkin seseorang itu mampu hidup bersama orang asing yang belum pernah sama sekali dikenal dalam hidupnya? Ada sebuah cara yang dicontohkan oleh para pendahulu kita. Seorang shahabiyyah bernama Fathimah bintu Qais, ketika habis masa ‘iddah setelah perceraiannya dengan suaminya, datanglah ia kepada Rasulullah dan mengabarkan bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm.

Rasulullah allallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu‘awiyah seorang yang fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah satunya, tapi) menikahlah dengan Usamah bin Zaid” (HR. Muslim no. 3681). Hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya meminta pertimbangan kepada seseorang yang dianggap shalih mengenai orang yang akan melamar.

Seorang gadis, juga diperbolehkan menawarkan diri kepada seorang laki-laki shalih. Seperti yang diceritakan sahabat Tsabit al-Bunani, “Ketika itu aku sedang bersama Anas dan putrinya, Anas berkata, ‘Seorang perempuan datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan menawarkan dirinya untuk Nabi. Wanita itu berkata: Wahai Rasulullah, apakah Anda menginginkanku? Kemudian putri Anas bin Malik berkata, ‘Sungguh kecil sekali rasa malunya….’ dan Anas pun berkata, ‘Wanita itu lebih baik darimu, dia ingin menjadi ummahatul mukminin maka dia tawarkan dirinya kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.’”(HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak mencela seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada orang shalih karena menimbang keshalihannya, dan mengharapkan kehidupan yang lebih baik jika menikah dengan orang yang dapat membimbingnya untuk selalu taat kepada Allah ta‘āla.

 

Penulis: Rinautami Ardi Putri

Artikel Buletin Zuhairoh