Dalam kehidupan ini, sudah menjadi kodrat wanita bahwa Allah Ta’aalaa ciptakan mereka dengan sifat dan kebiasaan yang berbeda dalam beberapa sisi dengan kaum pria. Seiring bertambahnya usia, mereka akan mengalami beberapa kebiasaan khusus wanita yaitu keluarnya darah haid, nifas, dan darah istihaadhah bagi sebagian wanita. Namun terkadang masih ada beberapa wanita yang belum memahami hal ini dengan seksama. Oleh karena itu, izinkanlah kami untuk menyampaikan sedikit risalah terkait darah kebiasaan wanita yang meliputi darah haid, nifas, dan istihaadhah tersebut.
Kami berharap, dengan pembahasan ini Allah memberikan taufik kepada kita untuk lebih memahami perbedaan di antara ketiganya, serta mengetahui apa-apa saja yang boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan saat mengalami hal tersebut.
Darah Haid
Darah haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita secara alami tanpa sebab sakit, jatuh atau melahirkan, terjadi di waktu yang sudah dimaklumi (Shahih Fiqih Wanita karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin).
Biasanya haid terjadi pada wanita antara usia 12 tahun hingga 50 tahun. Akan tetapi ada juga wanita yang datang haid sebelum atau sesudah usia tersebut sesuai dengan kedaan wanita itu sendiri, lingkungan, dan suasana tempat tinggalnya.
Masa haid pada wanita normal berkisar antara 6-7 hari, akan tetapi menurut pendapat yang lebih kuat, masa haid tidak dibatasi oleh sejumlah hari tertentu. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir, “Sekelompok ulama mengatakan, ‘Tidak ada batas minimal atau maksimal untuk masa haid.’”
Yang menjadi batasan masa haid adalah suci, yaitu berhentinya darah haid. Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta’aalaa (yang artinya), ”Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu kotoran,’ oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” (QS. al-Baqarah: 222).
Wanita haid tidak diperbolehkan untuk melakukan beberapa ibadah, antara lain: shalat, puasa, thawaf di Baitullah, i’tikaaf (berdiam diri di masjid). Tidak diperbolehkan juga melakukan hubungan intim dengan suami dan ditalak oleh suaminya ketika haid.
Darah Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dengan sebab melahirkan, bisa jadi bersamaan dengan melahirkan, setelah melahirkan, dan bisa jadi juga dua atau tiga hari sebelum melahirkan, disertai rasa sakit (karena kontraksi) (Shahih Fiqih Wanita karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin). Yang dimaksud rasa sakit di sini adalah rasa sakit karena akan melahirkan, apabila tanpa disertai rasa sakit maka tidak dikategorikan sebagai darah nifas.
Dikatakan darah nifas apabila wanita melahirkan sesuatu yang berbentuk manusia. Jika dia melahirkan seonggok daging yang belum jelas bentuk manusianya, maka darah yang keluar bukan termasuk darah nifas, akan tetapi darah biasa. Maka, hukum darah di sini sama dengan darah istihaadhah. Batas minimal bentuk manusia dapat terlihat jelas adalah delapan puluh hari dari awal kehamilan, namun kebanyakan adalah sembilan puluh hari (Shahih Fiqih Wanita karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin).
Para ulama berbeda pendapat tentang adakah batasan minimal dan maksimal masa nifas. Akan tetapi Syaikh ‘Utsaimin berpendapat bahwa, apabila darah keluar lebih dari empat puluh hari, padahal biasanya sudah berhenti atau nampak tanda-tanda berhenti, maka dia harus menunggu sampai berhenti. Apabila tidak berhenti juga, maka dia harus mandi setelah lewat empat puluh hari, sebab empat puluh hari adalah masa nifas pada umumnya. Akan tetapi apabila kebetulan datang haid, maka dia tidak boleh shalat, puasa, dan melakukan ibadah-ibadah yang dilarang saat haid. Apabila setelah itu darah pun berhenti maka hendaknya itu menjadi acuan selanjutnya. Jika darah terus keluar, maka itu adalah darah istihaadhah dan dia pun dikenai hukum-hukum istihaadhah sebagaimana akan kami jelaskan nanti.
Jika wanita tersebut telah berhenti keluar darah nifas maka dia telah suci, meskipun sebelum empat puluh hari. Dia wajib mandi, shalat, dan puasa, serta boleh disetubuhi suaminya.
Darah Istihaadhah
Istihaadhah adalah darah yang terus mengalir dari kemaluan wanita tanpa pernah berhenti, atau berhenti dalam waktu singkat, misalnya satu atau dua hari dalam satu bulan (Shahih Fiqih Wanita karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin).
Dalil dari hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata, ”Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallaahu ‘anha pernah berkata kepada Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku tidak pernah suci’” (HR. Bukhari). Dalam riwayat lain, “Aku terus keluar darah, maka aku tidak pernah suci” (HR. Bukhari).
Beberapa Keadaan Wanita Istihaadhah
Wanita istihaadhah mengalami tiga keadaan sebagai berikut:
- Dia memiliki masa haid yang sudah dia ketahui (masa haid yang teratur) sebelum mengalami istihaadhah. Dalam kondisi ini, dia dihukumi mengalami haid di masa biasanya dia mengalami haid, sedangkan masa selebihnya dihukumi sebagai darah istihaadhah.
Contoh, seorang wanita biasanya mengalami haid 5 hari di akhir bulan, kemudian dia mengalami istihaadhah yang mengakibatkan darah terus keluar. Maka haidnya adalah selama 5 hari dari setiap akhir bulan dan selebihnya dikatakan sebagai darah istihaadhah.
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha menceritakan bahwa Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallaahu ‘anha bertanya pada Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku terus keluar darah, maka aku pun tidak suci. Apakah aku boleh meninggalkan shalat?” Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Tidak, sebenarnya itu adalah darah biasa. Akan tetapi tinggalkanlah shalat selama hari yang biasanya kamu haid, kemudian mandilah kamu dan shalatlah” (HR. Bukhari).
- Dia tidak memiliki masa haid yang sudah diketahui sebelum mengalami istihaadhah (haidnya tidak teratur). Dalam kondisi ini, perlu dibedakan antara darah haid dengan darah istihaadhah. Darah haid memiliki ciri hitam (merah pekat kehitaman_red), kasar (kental_red), dan berbau busuk. Bila darah yang keluar tidak memiliki ciri-ciri di atas, maka digolongkan sebagai darah istihaadhah.
Contoh, seorang wanita keluar darah dari kemaluannya selama tujuh hari berwarna hitam, dan hari-hari selanjutnya berwarna merah segar, atau selama tujuh hari bertekstur kasar sedangkan hari-hari selanjutnya bertekstur halus, atau selama tujuh hari berbau busuk sedangkan hari-hari selanjutnya tidak berbau atau berbau amis khas darah segar. Maka darah yang hitam, kasar, atau berbau busuk selama tujuh hari itu digolongkan sebagai darah haid, sedangkan darah pada hari selanjutnya adalah darah istihaadhah.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallaahu ‘anha, ”Apabila darah haid maka darah itu berwarna hitam seperti yang sudah diketahui. Apabila darah itu seperti itu, maka janganlah kamu melakukan shalat. Apabila darah itu tidak seperti itu maka berwudhulah kamu dan shalatlah, sebab itu adalah darah biasa…”(HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dan beliau menganggap shahih hadits ini, Ibnu Hibban dan Hakim).
- Dia tidak memiliki masa haid yang teratur, dan tidak ada perbedaan yang signifikan pada darahnya. Artinya darah terus keluar sejak hari pertama haid dan tidak bisa dibedakan sifat-sifatnya antara darah haid dengan istihaadhah. Dalam kondisi ini, maka dikembalikan kepada kebiasaan masa haid mayoritas wanita, yaitu selama 6-7 hari setiap bulan dimulai dari dia melihat darah, sedangkan darah yang keluar di hari selebihnya adalah darah istihaadhah.
Contoh, seorang wanita melihat darah pada hari kelima pada suatu bulan dan darah itu terus keluar tanpa ada perbedaan yang signifikan, baik dari segi warna dan yang lainnya. Maka haidnya pada setiap bulan adalah enam atau tujuh hari, dimulai dari hari kelima pada setiap bulan.
Hukum Seputar Darah Istihaadhah
Hukum wanita yang mengalami darah istihaadhah sama seperti hukum dalam keadaan suci. Artinya seorang wanita istihaadhah tetap wajib melakukan ibadah-ibadah sebagaimana yang dilakukan wanita dalam keadaan suci. Dia tetap diwajibkan mengerjakan shalat, puasa, dan yang lainnya serta dibolehkan untuk berhubungan dengan suami. Tidak ada perbedaan hukum di antara keduanya, kecuali dalam hal berikut ini:
- Wajib berwudhu setiap kali hendak melakukan shalat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallaahu ‘anha, ”Kemudian berwudhulah kamu setiap hendak shalat” (HR. Bukhari).
- Ketika hendak berwudhu maka dia harus membersihkan bekas darah dan meletakkan pembalut untuk menahan keluarnya darah. Dalil dari hal ini adalah sabda Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam kepada Hamnah radhiyallaahu ‘anha, ”Aku akan jelaskan kepadamu cara penggunaan kapas, sebab ia dapat menghilangkan (menahan keluarnya) darah.” Hamnah berkata, “Darah itu lebih banyak dari itu.” Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Maka ambillah kain.” Hamnah berkata, ”Darah itu lebih banyak dari itu.” Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani).
Adapun darah yang keluar setelahnya tidaklah mengapa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallaallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiyallaahu ‘anha, “Jangan kau shalat pada hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah setiap kali hendak melakukan shalat, kemudian shalatlah, sekalipun darah menetes di atas tikar” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad, Shahih).
Demikianlah risalah singkat mengenai darah haid, nifas, dan istihaadhah. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dalam memahami hal ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya milik Allah Ta’aalaa, dan kekurangan serta kekhilafan pada diri kami. Wallaahul musta’aan.
***
Penulis: Nunung Wulandari
Artikel Buletin Zuhairoh